Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas itu lalu mengutip ayat Al-Baqarah 183 tentang tujuan puasa: takwa. Bukan sekadar lapar dan haus, tetapi perubahan. Ia lalu menyuguhkan kisah klasik Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA yang bersedih menjelang berakhirnya Ramadhan dan menyedekahkan seluruh makanan simpanannya hanya beberapa jam sebelum takbir Idul Fitri dikumandangkan.
“Lapar dan haus itu teramat pedih,” kata Sayyidina Ali kepada istrinya, Fathimah Az-Zahra. Kalimat yang kembali menggetarkan di tengah masyarakat modern yang mulai menjadikan Ramadhan sebagai rutinitas semata.
Khutbah ini bukan sekadar nasihat. Ia adalah peta jalan spiritual. Prof. Budu menekankan, tanda-tanda amal Ramadhan diterima adalah istiqamah: tetap berpuasa sunnah, menjaga qiyamul lail, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak amal baik selepas Ramadhan. Ia mengutip sabda Nabi tentang puasa enam hari di bulan Syawal yang nilainya setara dengan puasa setahun penuh.
Tidak berhenti di sana, ia mengajak jamaah untuk mempertanyakan kualitas hubungan dengan Al-Qur’an. Apakah tadarus hanya berlangsung saat Ramadhan? Atau justru menjadi kebiasaan yang terus berputar seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
“Al-hallu wal-murtahil: yaitu orang yang terus mengkhatamkan Al-Qur’an dan memulai kembali dari awal.”
Khutbah itu seperti perjalanan sunyi yang penuh pancaran makna. Tak ada teriakan, tak ada histeria. Tapi tiap kalimatnya menancap sebagai cermin.
Prof. Budu menyempurnakan pesan spiritualnya dengan menekankan pentingnya menjaga shalat-shalat sunnah: shalat malam, rawatib, hingga dua belas rakaat yang bisa membangunkan rumah di surga. Amal bukan sekadar deretan aktivitas, melainkan kehadiran batin yang terus menyala.