Batin Politik Prabowo-Mega

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang mengirimkan bunga anggrek kepada Megawati Soekarnoputri saat Ketum PDIP itu merayakan ulang tahun ke-78.

“Terima kasih atas perhatian dari semua pihak, khususnya kepada Presiden Prabowo yang sudah memberikan perhatiannya untuk ibu Megawati Soekarnoputri di hari ulang tahunnya,” kata Puan.

Terdengar romatis kiriman bunga Prabowo ke Megawati, namun terlepas hubungan personal begitu baik antar keduanya. Tetapi sejarah mencatatnya kalau keduanya memiliki hubungan politik yang demikian dekat. Pemilu pemilihan presiden tahun 2009 yang dikenal dengan tagline MegaPro menunjukkan kalau keduanya memiliki ikatan politik yang kuat hingga berlanjut pada hubungan personal dan kekeluargaan yang demikian kuat pula. Dalam berbagai kesempatan Prabowo menyebutkan kalau rindu nasi goreng Megawati. Dan Megawati pun mengirimkan minyak urut kesehatan buat Prabowo.

Sehingga keduanya demikian sulit untuk dipisahkan dalam berbagai event politik, walau keduanya juga seringkali berseberangan dalam kontekstasi politik seperti Pilpres 2014 dan 2019 PDIP dalam hal ini Megawati mengusung jagoan PDIP yakni Jokowi dua periode berturut-turut, dan rivalitasnya adalah Prabowo-Hatta Rajasa (2014), Prabowo-Sandiaga Uno (2019). Kemudian Prabowo bersama Gerindra memilih oposisi kurang lebih 7 tahun di dalam pemerintahan Jokowi periode pertama dan tiga periode kedua.

Kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 oposisi begitu kuat, dan didukung oleh kekuatan civil society di luar parlemen. Tetapi, Megawati dan Prabowo tidak pernah sedikitpun memunculkan sarkas politik dan permusuhan yang abadi. Komunikasi politik di antara keduanya justru terbangun dengan baik, apakah itu lewat Partai Gerindra maupun PDIP, maupun lewat Sekjen Gerindra Ahmad Mujani dengan Hasto Kristiyanto termasuk Puan Maharani (Ketua DPR). Itu semakin membuktikan kalau kedua tokoh ini Megawati muapun Prabowo memiliki “Batin Politik” yang kuat.

Apalagi pascapilpres 2024 Gerindra sebagai nahkoda KIM (koalisi Indonesia Maju) yang memenangkan Prabowo Subianto sebagai presiden RI ke 8. Sementara PDIP pemenang Pileg. Artinya antara Prabowo (Gerindra) dan Megawati (PDIP) memiliki kekuatan politik yang sama. Dan keduanya pun masing-masing selaku ketua partai.

Di tengah berbagai persoalan bangsa yang semakin menemui titik kulminasi, maka diperlukan bangunan demokrasi yang kuat melalui kekuatan-kekuatan politik baik itu ditingkat eksekutif maupun dilevel legslatif. Pilihan politik PDIP dengan Jokowi di Pilpres 2024 terkesan pecah kongsi dan bahkan cendrung semakin memuncak, termasuk KPK yang mentersangkakakn Hasto dalam kasus Harun Masiku, kemudian muculnya rilis OCCRP yang menobatkan Jokowi sebagai pemimpin terkorup 2024, hingga yang amat sangat fenomenal adalah pembongkaran pagar laut yang membentang di perairan Tangerang sepanjang 30,16 kilometer. Sindikat dan bayang-bayang atas realitas tersebut tentu membuat banyak pihak was-was.

Nah, terkait pertemuan Prabowo-Megawati yag akhir-akhir ini sangat dinantikan oleh banyak pihak, menjadi hal penting untuk merisalah kembali kebangsaan kita yang akhir-akhir ini dipenuhi “sarkas”. Pertemuan ini pun tentu diharapkan untuk membangun kekuatan politik bangsa untuk menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Apakah pertemuan ini adalah jalan untuk mengakhiri “oposisi” untuk membangun kekuatan politik semesta secara full power baik ditingkat eksekutif maupun legislatif?

Ataukah, pertemuan keduanya adalah jalan untuk mengakhiri posisi dan manuver politik Jokowi? Posisi Jokowi yang tidak memiliki partai politik akan punya ruang politik yang kecil setelah pertemuan Prabowo-Mega terjadi. Apatalagi hubungan PDIP dengan Jokowi yang sedang tidak baik-baik saja sejak isu pengkhianatan itu terjadi.
Hingga pada akhirnya “batin politik” keduanya sulit untuk dibantah. Apakah pertemuan ini tidak ada tantangan? tentu tidak sedikit, termasuk koalisi pemenang Pilpres kemarin akan merasa terganggu dengan hadirnya PDIP dikoalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Belum lagi ketidaknyamanan Jokowi atas pertemuan tersebut. Sehingga Jokowi pun menemui Sultan Hamengkubuwono IX untuk memfasilitasi pertemuan antara Jokowi-Mega, walau pihak PDIP tidak memberikan respons terhadap lagkah politik Jokowi untuk bertemu Megawati.

Dengan demikian, ketidak-move on-nya PDIP terhadap sikap politik Jokowi di Pilpres semakin memperburuk hubungan keduanya. Justru PDIP melalui Puan Maharani (ketua DPR) sekaligus anak Megawati di beberapa kesempatan mengungkapkan dukungannya kepada pemerintahan Prabowo.

Demikian juga halnya Prabowo butuh dukungan partai politik di dalam upaya mendorong program-program pemerintah termasuk dalam hal ini PDIP. Justru sikap move on PDIP justru ditunjukkan kepada Prabowo, bukan kepada Jokowi.

Momen Nostalgia Mega-Pro

Desas desus keterhalangan pertemuan Prabowo dengan Megawati selama ini, akhirnya 7 April 2025 menjadi momentum bersejarah. Sekali lagi, ini adalah batin politik Prabowo-Megawati yang memang tidak dapat dipisahkan. Sekalipun keduanya di beberapa event politik menjadi rivalitas, tetap keduanya tidak pernah saling menghianati, seperti Jokowi menghianati Megawati atau PDIP di Pilpres 2024 kemarin.

Pertemuan ini tentu mengundang berbagai spekulasi dan perspektif, (1) Apakah ini adalah cara Prabowo untuk melepaskan bayang-bayang politik Jokowi, di mana akhir-akhir ini Jokowi secara terus menerus mendapat hantaman dari publik dengan berbagai kasus politik sejak ia menjabat sebagai presiden hingga ia lengser sejak 20 Oktober 2024 lalu. Belum lagi dengan kasus ijazah palsu yang terus-menerus terangkat dipermukaan. Dan ini tentu sangat mengganggu rotasi dan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto.

(2) Merebaknya berbagai kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak, sehingga pertemuan disinyalir sebagai bentuk untuk memutus mata rantai politik sandera di tubuh kabinet merah putih. Dan bisa menjadi jalan terbaik untuk bersih-bersih di lingkaran pemerintahan Prabowo Subianto.

(3) Berharap pertemuan ini bukan hanya sekadar nostalgia politik belaka, tetapi lebih pada menyulam kebersamaan demi membangun bangsa lima tahun ke depan.

Sehingga bisa dimaknai kalau pertemuan tersebut sarat dengan kepentingan Prabowo untuk mendapatkan dukungan dari PDIP, atau boleh jadi akan munculnya “single mayority” dalam politik demokrasi Indonesia---sehingga tidak ada lagi oposisi dalam parlemen.

Konsolidasi demokrasi tu penting bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus membunuh demokrasi itu sendiri. Dengan demikian publik berharap, pertemuan Prabowo-Megawati sebagai jalan mengkonsolidasikan demokrasi demi pemerintahan yang bersih dari praktek kekuasaan “The Agony Of power” sehingga demokrasi akan tumbuh dengan baik tanpa intimidasi dan kekerasan (violence).

Sehingga publik menilai pertemuan ini memberi harapan baru dalam kehidupan demokrasi yang lebih baik. Artinya Prabowo harus menjadi dirinya sendiri dengan cara “melepaskan semua bayang-bayang politik masa lalu.” Dengan cara melepaskan semua sandera politik demi supremasi hukum, artinya hukum harus menjadi panglima “tidak tebang pilih, tajam ke lawan, tumpul ke kawan”. (*)

  • Bagikan