Bencana Ekologi Intai Luwu Dipicu Tambang Emas PT Masmindo-Freeport

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemerintah Sulawesi Selatan harus bekerja keras untuk menggagalkan rencana produksi tambang emas di Kabupaten Luwu. Timbunan emas yang berada di Kecamatan Latimojong itu akan digarap oleh PT Masmindo Dwi Area dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Kerja sama perusahaan asal Australia dan Amerika Serikat ini dinilai akan berdampak bagi lingkungan dan ketimpangan sosial di daerah itu.

Sekretaris Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Salman Alfariz Karsa Sukardi mendorong penuh upaya pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghalau aktivitas tambang emas di Luwu. Menurut dia, pemerintah menunjukkan keseriusan terhadap keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial di daerah itu.

"Proyek tambang itu menyimpan sejumlah risiko yang perlu dikaji secara mendalam. Di antaranya adalah ancaman kerusakan ekologi berskala besar seperti deforestasi, degradasi tanah, serta ketimpangan ekonomi dan sosial yang mungkin terjadi di wilayah sekitar tambang," ujar Salman, Selasa (15/4/2025).

Salman menegaskan dukungannya kepada pemerintah Sulsel yang menyatakan bahwa kekayaan alam harus kembali memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Sulsel. Rencana penambang di Luwu itu sepertinya belum sejalan dengan arahan pemerintah.

"Kurangnya transparansi dan akuntabilitas membuat kami di DPRD siap menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan dinas terkait dalam waktu dekat," imbuh dia.

Salman mengatakan pentingnya mendukung program hilirisasi yang digencarkan Presiden RI, Prabowo Subianto yang sejalan dengan semangat yang digaungkan oleh pemerintah Sulsel.

"Presiden selalu menggaungkan hilirisasi dan pemanfaatan kekayaan alam oleh pelaku lokal. Kami melihat bahwa langkah Pemprov Sulsel sejalan dengan itu. Semoga mendapat respons positif dari pemerintah pusat," tutur Salman.

Salman juga menyoroti sejumlah dampak yang ditimbulkan tambang berskala besar, termasuk kerusakan ekologis, degradasi tanah, hingga ketimpangan ekonomi dan sosial.

"Jika metode yang digunakan oleh perusahaan tidak sesuai, maka akan ada banyak kerusakan lingkungan, mulai dari kekurangan hutan hingga penurunan daya dukung tanah. Hal ini harus dievaluasi," kata dia.

Sebelumnya, rencana eksplorasi tambang emas di Kabupaten Luwu menjadi perhatian serius dari pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Aktivitas perusahaan asing yang akan menggali gunung emas di daerah itu dinilai akan berdampak dalam berbagai aspek. Kerusakan lingkungan, kesenjangan hingga ketimpangan sosial ekonomi bakal menjadi "bom waktu"--yang bila tak dicegah secara dini- sewaktu-waktu akan meledak.

Masyarakat, petani, termasuk perempuan dinilai paling rentan kehilangan ruang hidup, air bersih, dan lahan-lahan garapan mereka.

Protes keras atas rencana aktivitas tambang emas di Kabupaten Luwu disampaikan langsung oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Sudirman Sulaiman. Sebelumnya, protek tambang emas dengan skala besar itu akan dikelola oleh perusahaan yang bekerja sama yakni PT Masmindo Dwi Area dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.
Sudirman khawatir, eksplorasi tambang emas di Luwu akan membawa dampak lingkungan dan ketimpangan yang tidak dapat dikendalikan nantinya.

Menurut Sudirman, tambang emas tersebut akan menghasilkan kubangan raksasa seperti yang terjadi di areal tambang Grasberg di Papua, yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

Sebagai bentuk protes rencana tambang emas itu, kata Sudirman, pihaknya akan melayangkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto. Tujuannya, meminta kepada Presiden untuk mengevaluasi ulang izin tambang tersebut.

"Pertama mengenai siapa yang mengelola dan bagaimana metode pengelolaannya. Ini menyangkut masa depan lingkungan dengan menggunakan metode open pit. Selain itu mengenai kesejahteraan masyarakat di san," ujar Sudirman.

Dia mengeklaim, bahwa izin kepada perusahaan PT Masmindo Dwi Area dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. tidak sesuai dengan arahan Presiden Prabowo mengenai pengelolaan kekayaan alam lokal yang wajib wajib mengutamakan dikelola oleh pengusaha lokal.

"Bukan perusahaan dari Jakarta apalagi asing,” imbuh adik Menteri Pertanian, Amran Sulaiman itu.

Sudirman menegaskan kewenangan perizinan tambang di Luwu memang berada di pemerintah pusat. Namun sebagai kepala daerah, dia merasa perlu menyampaikan aspirasi dan kegelisahan mengenai dampak jangka panjang dari aktivitas tambang berskala besar tersebut.

“Kami tahu bagaimana kondisi di sekitar tambang Freeport. Ada kubangan besar, penebangan pohon di mana-mana, dan rakyat Papua belum juga sejahtera sampai hari ini. Perusahaan luar yang menikmati, lokal yang menderita baik secara ekonomi maupun isu lingkungan. Jangan sampai di Luwu mengalami hal serupa. Sekarang saja sudah jadi langganan banjir sampai hari ini. Pengelolaan dari luar akan menimbulkan ketimpangan serta kurang berpikir terkait keselamatan lokal, apalagi kesejahteraan warga," tutur Sudirman.

"Yang menikmati justru bukan orang lokal tapi hanya penerima dampak serta penderitaan. Ini tidak sesuai dengan arahan Presiden yang ingin agar pengelolaan kekayaan alam dikuasai oleh perusahaan lokal bukan Jakarta apalagi luar. Jika lokal tentu ikatan dengan warga sekitar, ekonomi serta isu lingkungan bisa lebih diperhatikan," sambung dia.

Sudirman juga menyinggung persoalan banjir yang masih rutin melanda sejumlah wilayah di Luwu. Menurut dia, pembukaan lahan baik secara legal maupun ilegal telah memperparah kondisi lingkungan dan berdampak langsung terhadap masyarakat kecil, terutama yang tinggal di sepanjang bantaran sungai hingga pemukiman puluhan kilometer.

“Pembangunan yang mengabaikan moral dalam pengelolaan serta daya dukung lingkungan akan selalu dibayar mahal oleh masyarakat kecil. Karena itu, kita harus bicara, kita harus minta Bapak Presiden mempertimbangkan ulang,” ujar Sudirman.

Peneliti sekaligus pengamat lingkungan dari Universitas Hasanuddin Profesor Muhammad Alif K. Sahide menyebut, persoalan tambang di Sulsel sebenarnya bukan hal yang baru. Dia mencontohkan soal tambang nikel yang sudah lama banyak menuai sorotan.

"Menurut saya, tambang di Sulsel sekarang ini lagi menjadi sorotan karena banyak mineral, misalnya nikel, lagi booming dan juga menjadi sorotan. Menurut saya ada dua instansi yang penting untuk dilihat, pertama di sektor tambang itu sendiri dan di sektor lahan, seperti kehutanan," ujar Alif.

Dia menjelaskan, kedua kementerian tersebut sangat berperan dalam pengendalian dan pengelolaan tambang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai lembaga negara yang berwenang mengeluarkan izin tambang dan Kementerian Kehutanan terkait tata kelola lahan atau hutan.

"Selain itu sektor yang ketiga yah pemerintah daerah, dalam hal ini provinsi, karena dialah yang memberikan misalnya rekomendasi dan pemerintah daerah juga yang sekaligus penerima dampak positif maupun dampak negatifnya (dari izin tambang)," ungkap dia.

Izin pertambangan yang semuanya diambil alih oleh pemerintah pusat juga dinilai memiliki banyak dampak negatif. Dimana, kebijakan pusat kerap mengesampingkan dampak sosial, terutama kerusakan lingkungan dan dampak buruk lainnya bagi masyarakat sekitar tambang.

Belum lagi izin tambang yang begitu mudah keluar dengan alasan investasi, justru memiliki sumbangsih besar terhadap kerusakan lingkungan.

"Dalam undang-undang mineral dan batubara semuanya sudah desentralisasi ke pusat dengan alasan mempercepat investasi dan sebagainya. Banyak prosedur izin lingkungan yang mulai tidak dipangkas, mempermudah investasi utamanya di sektor tambang," ujar Alif.

"Tentu itu harus dikembalikan kan, walaupun kita berinvestasi, tapi apa gunanya investasi kalau lingkungannya sudah rusak," sambung dia.

Alif menyayangkan mengenai izin-izin tambang yang terkesan dipermudah, termasuk minimnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki rekam jejak merusak lingkungan. Menurut dia, mengeluarkan izin, pemerintah seharusnya memperbanyak masukan publik, utamanya aspirasi dari masyarakat sekitar lokasi tambang yang akan ditertibkan izinnya.

"Kami sesalkan sekali terkait izin-izin yang mulai dipermudah, bekerja sama dengan perusahaan yang punya rekam jejak merusak lingkungan. Seharusnya pemerintah lebih sedikit mengerem dan memperbanyak konsultasi publik sebelum membuat keputusan, terutama masyarakat lokal atau masyarakat sekitar," tutur Alif.

"Cuman itu juga masalahnya karena masyarakat sekitar itu kadang lemah, apalagi kalau jarang dimonitoring masyarakat sipil, itu tidak kuat dan tidak ada yang bisa mengadvokasinya. Itu (terkadang) cepat sekali difasilitasi (izinnya)," lanjut dia.

Mengenai langkah dan sikap Gubernur Sulsel yang meminta evaluasi izin tambang emas di wilayah Luwu, Alif mengatakan hal tersebut patut didukung. Namun, kata dia, bukan hanya tambang yang skala besar, tapi juga tambang-tambang skala kecil harus ditertibkan oleh pemerintah karena sama-sama memiliki sumbangsih dalam kerusakan lingkungan.

"Bukan tambang itu saja (tambang emas di Luwu), tapi seluruh tambang-tambang lainnya juga. Bukan hanya tambang yang sifatnya besar. Karena banyak juga tambang sekarang yang sifatnya kecil tapi banyak dan itu juga merusak lingkungan. Jadi kita dukung langkahnya Gubernur untuk mengangkat isu ini dan publik memperhatikan dan mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat," tutur profesor muda alumni University of Goettingen yang juga mendapatkan penghargaan sebagai ilmuwan paling berpengaruh di dunia versi Stanford University dan Elsevier B, itu. (suryadi-isak pasa'buan/C)

  • Bagikan