MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dampak tambang bukan hanya pada kerusakan lingkungan, tapi juga pada sosial masyarakat di sekitarnya. Masifnya izin tambang yang dikeluarkan pemerintah dengan dalil investasi ternyata tidak selalu baik.
Baru-baru ini, proyek tambang emas berskala besar dengan metode Open Pit atau tambang terbuka di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), mendapat perhatian serius dari masyarakat, pemerhati lingkungan, maupun pemerintah daerah.
Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman yang turut merespon rencana pembukaan tambang emas di wilayah Luwu yang melibatkan PT Masmindo Dwi Area dan Freeport-McMoRan Copper dan Gold Inc itu menyurat ke Presiden RI, Prabowo Subianto.
Sudirman menyampaikan terkait kekhawatirannya terhadap dampak lingkungan dan ketimpangan yang mungkin ditimbulkan oleh proyek tersebut. Apalagi disebut-sebut akan membentuk kubangan raksasa seperti tambang Freeport di Timika, Papua.
"Kita semua tahu bagaimana kondisi di sekitar tambang Freeport. Kubangan besar, penebangan pohon di mana-mana, dan rakyat Papua belum juga sejahtera sampai hari ini. Perusahaan luar yang menikmati, lokal yang menderita baik secara ekonomi maupun isu lingkungan. Jangan sampai Luwu mengalami hal yang sama. Sekarang saja sudah jadi langganan banjir sampai hari ini. Pengelolaan dari luar akan menimbulkan ketimpangan serta kurang berpikir terkait keselamatan lokal, apalagi kesejahteraan warga. Dua kali kena kita,” ujarnya.
Ketegasan Gubernur Sulsel itupun mendapatkan respon positif dari sejumlah pihak. Meskipun langkah beraninya itu dinilai belum cukup, mengingat selama ini pemerintah daerah maupun pusat selama ini kerap mengabaikan aspirasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan perizinan tambang.
Seperti yang disuarakan organisasi lingkungan, Walhi Sulsel, mereka menyebut tidak ada ruang partisipasi yang adil dan transparan selama ini. Untuk itu, jika Gubernur Sulsel benar-benar berpihak pada rakyat, maka seharusnya tidak hanya menyurati Presiden, tetapi juga membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat Luwu yang terdampak langsung.
Lalu seperti apa persoalan tambang di wilayah Sulsel? Peneliti Sekaligus Pengamat Lingkungan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Muhammad Alif K. Sahide menyebut, persoalan tambang di Sulsel sebenarnya bukan hal yang baru, utamanya masalah tambang nikel yang sudah lama banyak menuai sorotan.
"Menurut saya, tambang di Sulsel sekarang ini lagi menjadi sorotan karena banyak mineral, misalnya nikel, lagi booming dan juga menjadi sorotan. Menurut saya ada dua instansi yang penting untuk dilihat, pertama di sektor tambang itu sendiri dan di sektor lahan, seperti kehutanan," ujar Prof Alif saat diwawancara, Selasa (15/4/2025).
Profesor muda alumni University of Goettingen yang juga mendapatkan penghargaan sebagai ilmuwan paling berpengaruh di dunia versi Stanford University dan Elsevier BV itu menjelaskan, kedua kementerian tersebut sangat berperan dalam pengendalian dan pengelolaan tambang.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai lembaga negara yang berwenang mengeluarkan izin tambang dan Kementerian Kehutanan terkait tata kelola lahan atau hutan.
"Selain itu sektor yang ketiga yah pemerintah daerah, dalam hal ini provinsi, karena dialah yang memberikan misalnya rekomendasi dan pemerintah daerah juga yang sekaligus penerima dampak positif maupun dampak negatifnya (dari izin tambang)," ungkapnya.
Izin pertambangan yang semuanya diambil alih oleh pemerintah pusat juga dinilai memiliki banyak dampak negatif. Dimana, kebijakan pusat kerap mengesampingkan dampak sosial, terutama kerusakan lingkungan dan dampak buruk lainnya bagi masyarakat sekitar tambang.
Belum lagi izin tambang yang begitu mudah keluar dengan alasan investasi, justru memiliki sumbangsih besar terhadap kerusakan lingkungan.
"Dalam undang-undang Minerba (Mineral dan Batubara) kita kan semuanya sudah desentralisasi, semuanya kembali ke pusat, dengan alasan mempercepat investasi dan sebagainya. Banyak prosedur ijin lingkungan yang mulai tidak dipangkas, mempermudah investasi utamanya di sektor tambang," sebutnya.
"Tentu itu harus dikembalikan kan, walaupun kita berinvestasi, tapi apa gunanya investasi kalau lingkungannya sudah rusak," sambungnya.
Prof Alif menyangka mengenai izin-izin tambang yang terkesan dipermudah, termasuk minimnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki rekam jejak merusak lingkungan.
Ia menyebut, dalam mengeluarkan izin, pemerintah seharusnya memperbanyak masukan publik, utamanya aspirasi dari masyarakat sekitar lokasi tambang yang akan ditertibkan izinnya.
"Kita sesalkan sekali terkait izin-izin yang mulai dipermudah, bekerja sama dengan perusahaan yang punya rekam jejak merusak lingkungan. Seharusnya pemerintah lebih sedikit mengerem sedikit dan memperbanyak konsultasi publik sebelum membuat keputusan, terutama masyarakat lokal atau masyarakat sekitar," tutur Prof Alif.
"Cuman itu juga masalahnya karena masyarakat sekitar itu kadang lemah, apalagi kalau jarang dimonitoring masyarakat sipil, itu tidak kuat dan tidak ada yang bisa mengadvokasinya. Itu (terkadang) cepat sekali difasilitasi (izinnya)," Prof Alif menambahkan.
Mengenai langkah dan sikap Gubernur Sulsel yang meminta evaluasi izin tambang emas di wilayah Luwu, Prof Alif mengatakan harus didukung. Bukan hanya tambang yang skala besar, tapi juga tambang-tambang skala kecil harus ditertibkan oleh pemerintah karena sama-sama memiliki sumbangsih dalam kerusakan lingkungan.
"Kita dukung (untuk evaluasi), tapi bukan tambang itu saja (tambang emas Luwu), tapi seluruh, atau tambang-tambang lainnya juga. Bukan hanya tambang yang sifatnya besar. Karena banyak juga tambang sekarang yang sifatnya kecil tapi banyak dan itu juga merusak lingkungan. Jadi kita dukung langkahnya Gubernur untuk mengangkat isu ini dan publik memperhatikan dan mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat," pungkasnya. (isak pasa'buan/B)