Remitansi: Nadi Tak Terlihat yang Menyokong Ekonomi dan Harapan Bangsa

  • Bagikan
Prof. Risma Niswaty.

Oleh: Prof. Risma Niswaty (Guru Besar Layanan Publik UNM)

SETIAP tanggal 16 Juni, dunia memperingati International Day of Family Remittances (IDFR) bukan sekadar hari untuk mengingat angka-angka triliunan dolar yang mengalir melintasi batas negara, tetapi hari untuk menaruh hormat pada jutaan jiwa yang bekerja jauh dari tanah air demi keluarga tercinta.

Remitansi, atau uang yang dikirimkan oleh pekerja migran ke kampung halaman, bukan sekadar transaksi keuangan. Ia adalah denyut kehidupan bagi sekitar 800 juta orang di seluruh dunia membiayai kebutuhan pokok, menyekolahkan anak-anak, membayar biaya pengobatan, bahkan menjadi modal untuk usaha kecil yang menggerakkan ekonomi lokal. Di balik setiap kiriman, ada cerita tentang kerinduan yang ditahan, pengorbanan tanpa pamrih, dan kerja keras yang sering kali tak dilihat atau dihargai.

Di Indonesia, remitansi telah menjadi salah satu sumber devisa terbesar, mengungguli beberapa sektor ekspor unggulan. Dana ini telah mengubah wajah banyak desa dari daerah tertinggal menjadi wilayah yang lebih sejahtera. Rumah-rumah permanen, akses pendidikan yang lebih baik, fasilitas kesehatan yang lebih memadai semua ini menjadi bukti nyata bahwa remitansi adalah kekuatan pembangunan dari bawah.

Namun di balik cahaya gemerlap angka-angka tersebut, tersimpan sisi gelap yang sering kali luput dari perhatian publik. Para pekerja migran, atau Pekerja Migran Indonesia (PMI), sering bekerja dalam kondisi yang jauh dari layak: upah minim, jam kerja panjang, perlakuan diskriminatif, bahkan eksploitasi dan kekerasan. Mereka adalah “pahlawan devisa” yang kerap dilupakan setelah uang mereka masuk ke kas negara.

Oleh karena itu, IDFR bukan hanya tentang mengapresiasi kiriman uang. Ia harus menjadi pengingat dan panggilan moral bagi negara, khususnya Indonesia, untuk memperbaiki sistem perlindungan bagi PMI mulai dari keberangkatan, masa kerja di luar negeri, hingga proses kepulangan dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.

Apakah cukup dengan sekadar menyebut mereka “pahlawan devisa” jika masih banyak yang berangkat secara ilegal karena biaya yang tinggi dan informasi yang minim? Apakah pantas kita bangga atas puluhan miliar dolar yang mereka kirimkan jika mereka sendiri tidak mendapatkan perlindungan hukum yang layak, dan sekembalinya ke tanah air, justru kembali ke kemiskinan karena ketiadaan program reintegrasi yang nyata?

Indonesia memerlukan kebijakan yang lebih progresif dan menyeluruh. Biaya pengiriman remitansi harus ditekan serendah mungkin. Jalur legal migrasi harus dibuka lebar dengan prosedur yang transparan dan mudah diakses. Perlindungan hukum bagi PMI di negara tujuan harus diperjuangkan dengan diplomasi yang tegas. Dan yang tak kalah penting, program pemberdayaan ekonomi bagi PMI purna harus disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan lokal agar mereka tidak kembali terjebak dalam lingkaran migrasi paksa.

Remitansi adalah investasi langsung dalam pembangunan berkelanjutan. Tetapi investasi ini hanya akan benar-benar bermakna jika disertai dengan perlindungan yang adil dan keberpihakan nyata. Jika tidak, maka pujian “pahlawan devisa” akan tetap menjadi gelar hampa tanpa jaminan keselamatan, tanpa rasa aman, tanpa masa depan.

Pada akhirnya, pekerja migran adalah jembatan antara harapan dan kenyataan mereka membangun masa depan keluarga dan bangsa dengan setiap dolar yang mereka kirim, dengan setiap tetes peluh yang mereka cucurkan di negeri orang. Maka sudah seharusnya negara hadir, bukan hanya sebagai penerima devisa, tetapi sebagai pelindung dan mitra perjuangan mereka. (**)

  • Bagikan