Loyalis dan Jejaring, Modal IAS Reborn

  • Bagikan

Catatan Rusman Madjulekka

PADA 26 Januari 2022 dijadwalkan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai kandidat Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan (Sulsel) periode 2022-2027. Ia Walikota Makassar dua periode yang sebelumnya merupakan kader partai Golkar sebelum bergabung dengan partai besutan SBY.

Langkah politik pria yang kerap disapa “Aco” ini bisa menjadi semangat baru. Mengapa? Tak dapat dipungkiri, di Demokrat Sulsel banyak loyalisnya yang bisa membangun soliditas mereka dengan menjadikannya sebagai magnet. Dengan kata lain, perahu “Demokrat Jilid 2” ini (bila diberikan amanah), jadi soft landing bagi IAS untuk menatap Pilgub Sulsel 2024 penuh optimisme.

Dengan pertimbangan kalkulasi waktu dan persiapan, menurut saya, peluang IAS ‘comeback’ menakhodai Demokrat Sulsel sangat mungkin. Apalagi faktor jejaring IAS masih kuat dan tinggal melakukan konsolidasi. Ini adalah momentum IAS bisa reborn karena dalam politik tak ada kematian abadi. Yang ada justru malah orang yang dinilai mati bisa hidup lagi.

Yang pasti, IAS reborn tetap butuh kerja keras jika Demokrat ingin kembali berjaya di panggung politik Sulsel. Sebab, harus diakui, banyak juga loyalis IAS yang tersebar ke partai lain. Karena selama ini ia membangun relasi sosial yang terpelihara secara baik.

Saya membaca kegundahan IAS yang enggan meninggalkan Demokrat Sulsel salahsatunya karena dirinya memiliki jalinan erat dengan banyak kader daerah. Pemikirannya yang mumpuni di bidang politik senantiasa memberikan ruang berkreativitas bagi mereka.

Sedangkan bacaan para netizen, sinyal ‘comeback’nya IAS tersebut dipikirannya dapat digiring liar kemana-mana. Padahal mungkin peristiwa itu hanya pertemuan biasa untuk konsolidasi internal ditengah bayang-bayang prahara yang sedang menimpa partai berlambang mercy di tingkat nasional. Tapi itu sah-sah saja, apalagi kita hidup di era disrupsi dengan limpahan informasi.

Tapi saya pribadi melihatnya sebagai momentum politik. Pasalnya, momentum politik tidak diciptakan, ia tercipta. Ketika momentum itu sejangkauan tangan dan anda tidak meraihnya,maka orang lain akan mengambilnya.

Bicara politik bagaimana pun adalah soal persepsi dan popularitas. Dan citra atau image seseorang terbentuk bukan juga karena diciptakan,apalagi dipaksakan. Dengan kata lain, seseorang tidak perlu sekolah politik ke negeri ‘Paman Sam’ untuk menjadi presiden, cukup menjadi eksportir mebel untuk meraihnya. Popularitas dan momentum dalam politik selalu berbanding sejajar. Keduanya benda unik dan misterius, tanpa perbatasan.

Kita juga harus maklum, sistem politik di negeri ini perlu kendaraan untuk sebuah “dejavu” yang bukan perkara mudah untuk dirangkai ulang. ***

Jakarta, 20 Januari 2022

  • Bagikan