“Bahasa Rampi, Laiyola, dan Lemolang Terancam Punah”

  • Bagikan

PENULIS: SYAMSI NUR FADHILA

MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Hari Bahasa Ibu Internasional atau International Mother Language Day diperingati setiap 21 Februari. Perayaan ini diselenggarakan untuk mempromosikan kesadaran akan keanekaragaman bahasa dan budaya serta promosi multibahasa.

Menilik perkembangan bahasa ibu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan menemukan adanya kecenderungan penurunan penggunaan bahasa daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Hal itu ditandai dengan berkurangnya pemakaian bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Di banyak rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Hal tersebut membuat posisi bahasa daerah semakin terpinggirkan.

Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulsel, Yani Paryono membeberkan, berdasarkan Peta Bahasa tahun 2019, ada 14 bahasa yang ada di Sulawesi Selatan, yakni, Bajo, Bonerate, Bugis, Bugis De, Konjo, Laiyolo, Lemolang, Makassar, Mandar, Massenrengpulu, Rampi, Seko, Toraja, Wotu

“Sedangkan di Sulawesi Barat terdapat sembilan bahasa yaitu Baras, Benggaulu, Budong-Budong, Kone-Konee, Mamasa, Mamuju, Mandar, Pannei, dan Topoiyo,” ucap Yani.

Berdasarkan kajian tentang vitalitas bahasa yang telah dilakukan oleh Balai Bahasa Sulsel, beberapa bahasa dikategorikan statusnya sebagai bahasa yang terancam punah, antara lain, bahasa Rampi, Laiyola, dan Lemolang.

“Untuk menentukan jumlah bahasa yang terancam punah perlu diadakan kajian tentang vitalitas bahasa, mengingat wilayah kerja yang luas dan keterbatasan anggaran, saat ini Balai Bahasa belum melakukan kajian vitalitas untuk semua bahasa yang ada,” jelasnya.

Dalam mempertahankan bahasa ibu, kata Yani, Balai Bahasa sudah melakukan pemetaan bahasa untuk memetakan bahasa-bahasa yang ada agar dapat diketahui persebaran penuturnya serta memberikan gambaran mengenai situasi kebahasaan di suatu wilayah.

Selain itu, kajian vitalitas bahasa juga dilakukan untuk mengetahui daya hidup suatu bahasa berdasarkan sepuluh indikator vitalitas sehingga tingkat vitalitas bahasa tersebut bisa ditentukan yaitu aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis dan punah.

“Langkah selanjutnya yaitu melalui konservasi bahasa yang merupakan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa agar tetap dipergunakan oleh masyarakat penuturnya,” jelasnya.

Kemudian ada pula revitalisasi bahasa yang merupakan suatu usaha untuk meningkatkan daya hidup atau vitalitas suatu bahasa agar penggunaan bahasa tersebut meningkat, bahkan pengguna bahasa pun makin bertambah.

“Kegiatan revitalisasi ini dapat ditempuh melalui pembelajaran bahasa yang bersangkutan, baik secara klasikal (bersama-sama di dalam kelas) atau pemodelan pada suatu komunitas tertentu,” beber Yani.

Upaya lain yang dilakukan oleh Balai Bahasa yaitu menyusun kamus berbahasa daerah, melakukan digitalisasi kamus berbahasa daerah serta memasukkan kosakata bahasa daerah ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

“Seluruh upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah di Sulwesi Selatan dan Sulawesi Barat, perguruan tinggi, tenaga pendidik, dan seluruh elemen masyarakat yang memiliki perhatian dalam pelestarian bahasa dan sastra daerah di Sulawesi Selatan,” ungkapnya.

Dari peta bahasa yang diterbitkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2019, digambarkan persebaran penutur 14 bahasa daerah di Sulsel dan 9 bahasa di wilayah Sulbar.

Di daerah Sulsel terdapat tiga bahasa mayor yang paling sering digunakan yaitu Bugis, Makassar, dan Toraja. Sedangkan di daerah Sulawesi Barat bahasa yang paling dominan adalah bahasa Mandar.

Yani menjelaskan, penggunaan bahasa-bahasa tersebut dideteksi melalui kajian, misalnya kajian tentang vitalitas bahasa, yang dapat memberikan gambaran tentang daya hidup bahasa tersebut serta ranah pemakaian bahasa.

“Sehingga melalui kajian tersebut, kemudian dapat ditentukan model pelindungan bahasa yang akan dilakukan untuk mempertahankan bahasa tersebut,” jelasnya.

Mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Bangka Belitung ini mengatakan, bahasa ibu sangat perlu dipertahankan keberadaannya dengan dukungan dari berbagai pihak.

Sebab, jika membiarkan bahasa tersebut berjalan ke depan secara apa adanya, akan menyebabkan bahasa daerah tersebut semakin berkurang dari hari ke hari.

“Penggunaan bahasa ibu ke depan akan mengalami banyak tantangan karena semakin berkurangnya penggunaan bahasa tersebut di rumah tangga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Selain itu, bahasa asing yang mengglobalisasi akan membuat posisi bahasa daerah semakin tergerus,” ucapnya.

Yani menilai, generasi milenial sekarang cenderung untuk mulai meninggalkan bahasa ibu mereka. Hal yang menyebabkan antara lain karena rasa bangga akan bahasa daerah mereka yang semakin berkurang, keuntungan yang mereka peroleh dengan menggunakan bahasa daerah dianggap tidak signifikan, dan juga adanya perasaan lebih bangga jika dapat menguasai bahasa asing tertentu dibandingkan dengan menguasai bahasa daerah

Oleh karena itu, agar bahasa ibu tetap digunakan oleh penggunanya, sambung Yani, maka perlu ditumbuhkan sikap positif pengguna bahasa terhadap suatu bahasa.

“Harus disadari bahwa banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah, selain itu, dalam setiap bahasa daerah ada identitas budaya yang melekat dan akan hilang seiring dengan punahnya suatu bahasa,” ujar dia. (*)

  • Bagikan