Jika dicermati dari 52 orang yang terpilih, mayoritas berasal dari eksternal. Bukan melalui proses kaderisasi yang berjalan di parpol bahkan cenderung bernuansa oligarki politik semata. Mereka yang terpilih memiliki relasi yang kuat dengan penguasa-penguasa lokal di daerah. Berasal dari trah keluarga pejabat dan ekonomi mapan. Kemunculannya dalam arena kontestasi politik sangat kental dipengaruhi oleh politik kekerabatan.
Pemilu 2024 mendatang, fenomena seperti itu akan kembali marak terjadi. Seiring tren partisipasi caleg milenial yang semakin menguat. Namun dibalik jumlah keterlibatannya dalam politik praktis yang akan semakin besar, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah keterpilihan caleg milenial juga akan bertambah signifikan? Apakah yang sanggup bersaing hanya caleg milenial yang berasal dari kalangan tertentu saja?
Menjawabnya tentu cukup rumit. Butuh pengkajian yang mendalam. Sebab, masing-masing caleg milenial punya karakter personal tersendiri, memiliki latar belakang yang berbeda-beda, modal politik yang beragam, punya gaya dan metode kerja-kerja politik yang bervariasi serta hokinya sendiri.
Tentu ada dikotomi diantara caleg milenial dalam melihat kans atau peluang keterpilihannya. Namun melihat besarnya angka pemilih milenial pada pemilu 2024, memberi sinyal harapan dan optimisme bahwa pemilih milenial berpotensi diwakili oleh generasinya sendiri akan mengalami peningkatan di berbagai level kontestasi politik. Baik itu di DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi hingga DPR RI.
Memang tak ada garansi bahwa suara pemilih milenial hanya untuk caleg milenial. Dikarenakan dalam menggalang dan meraih dukungan dari pemilih milenial dibutuhkan upaya dan berbagai pendekatan. Tak cukup hanya menjual jargon “muda” dan bergaya “milenial”. Caleg milenial juga harus punya formula dan tools yang tepat dan efektif dalam menggarap dan meyakinkan pemilih dari generasinya sendiri. Di samping itu, jangan lupakan pemilih di luar generasi. Sekalipun jumlahnya mengalami tren penurunan tetapi pengaruhnya masih signifikan bagi kepentingan elektoral.
Kita tentu tidak mengharapkan kuantitas partisipasinya saja tetapi dengan keterpilihan yang potensial, caleg milenial mesti membawa kualitas, energi pembaharuan, diferensiasi gagasan dan inovasi dalam kemajuan demokrasi dan pembangunan di Indonesia. Caleg milenial harus punya keberanian mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik. Wajah politik kita ke depan akan ditentukan oleh kualitas generasi milenial.
Caleg milenial harus mampu menyalakan api perbaikan kinerja wakil rakyat. Eksistensinya ke depan mesti memperkuat nilai dan citra kelembagaan DPR. Bukan hanya menjadi partisipan, komoditi politik dan cuma jadi objek elektoral semata. Maka jalan terbaiknya adalah meningkatkan kapasitas diri dan membangun kepantasan dengan serius merebut ruang dan peran di Parlemen.
Keterpilihan caleg milenial ditentukan seberapa banyak suara yang diraih dari warga pemilih. Maka pemilih memiliki peran yang sangat menentukan. Karena itu, pemilih harus lebih jeli dan cerdas memilih caleg milenial yang potensial. Potensial figurnya, potensial keterpilihannya. Bukan melihat secara parsial, apalagi hanya finansial. Karena jika salah dalam menentukan pilihan, maka kesialan yang akan dituai. Sial bagi caleg milenial yang potensial dan kerugian bagi pemilih sendiri karena gagal mendudukkan kandidat yang terbaik. (**)
Nursandy Syam
Manajer Strategi Jaringan Suara Indonesia (JSI)