Jikalau parpol dipilih. Padahal sistem proporsional terbuka di Indonesia digunakan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019. Sehingga melukai jika adanya wacana pemilu sistem proporsional tertutup.
Mantan Wakil Bupati Soppeng itu menuturkan, jikalau gugatan agar Pemilu 2024 kembali menerapkan sistim proporsional tertutup dikabulkan Mahkamah Konstitusi, maka akan menggelar pemilu seperti zaman Orde Baru, di mana rakyat hanya memilih lambang partai saja.
"Menurut saya, bila sistem pemilu yang sekarang dianggap banyak kekurangan mestinya sistem ini diperbaiki, bukan malah mundur ke zaman Orde Baru dengan menggunakan sistem proporsional tertutup," tegasnya.
Lanjut dia, sistem ini justru bertentangan dengan UU NO 18 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik. Dia menegaskan, wacana penerapan sistim proporsional tertutup harus dihentikan sebab itu merpakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai reformsi tahun 1998.
Ia juga menuturkan, akan tegas menolak sistem proporsional tertutup ini untuk diberlakukan pada Pemilu 2024 mendatang. Sistim ini ibaratnya rakyat disuruh membeli kucing dalam karung.
"Rakyat memilih tapi tidak mengetahui siapa wakilnya yang akan duduk dan ditunjuk oleh partainya," ucap aktivis dan demonstran mahasiswa pada tahun 1998 asal UMI Makassar, itu.
Diketahui, perdebatan soal sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup kembali bergulir. Ini bermula dari gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan sejumlah warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu.
Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama caleg.