ICSIS 2023 UINAM, Prof Hamdan Harap Gagasan para Akademisi bisa Tersebar Luas

  • Bagikan

GOWA, RAKYATSULSEL - Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menggelar International Conference on Social and Islamic Studies (ICSIS-2023). Kegiatan ini merupakan kali ketiga digelar secara online.

Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof Hamdan Juhannis, MA, Ph.D membuka the 3rd ICSIS UINAM, Rabu (31/5).

Mengusung tema "Ethics, Values, Law and Legal System in Contemporary Society", Prof Hamdan menyebutkan, pelaksanaan konferensi internasional merupakan kegiatan yang harus dipertahankan dan konsisten dilaksanakan setiap tahun.

“Bersyukur karena ini bisa rutin dilakukan. Dan apa yang dibicarakan tidak hanya Islamic Studies tapi ada pembahasan sosial dan humanity juga,” jelasnya.

Sebagai rektor, Prof Hamdan berharap hasil dari konferensi bisa dipublikasi di jurnal terakreditasi, jurnal atau prosiding internasional, bahkan bisa terindeks internasional seperti scopus.

Hamdan menyebutkan banyak gagasan baru dan inovatif yang muncul setiap diadakan konferensi.

Untuk itu, Prof Hamdan meminta agar hasil dari konferensi ini bisa diakses banyak orang dan semua akademisi dan orang orang yang butuh referensi.

“Yang paling penting, apa yang kita diskusikan dan dipresentasikan itu bisa dipublikasikan dan juga bisa tersebar luas pesan-pesan akademiknya,” tambah Hamdan.

Konferensi yang digelar sehari ini mengundang tiga narasumber internasional, yaitu Prof. Mun'im Sirry University of Notre Dame (USA) membawakan materi tentang Benih-benih moderasi Beragama.

Lalu ada Prof. Shahid Bashir dari Business School, Technologico de Monterrey (Mexico) dan Prof. Najma Moosa dari University of the Western Cape (Republic of South Africa).

The 3rd ICSIS UINAM ini juga diramaikan 117 pemakalah dari dua negara. Pemakalah dari Indonesia juga dihadiri berbagai universitas dan instansi. Selain pemakalah, kegiatan ini juga dihadiri ratusan peserta biasa.

Pada pembahasan Mun’in Sirry, pembicaraan moderasi beragama di Indonesia masih sebatas wacana moderator atau yang lebih dikenal dengan istilah Islam Wasathiyah.

Padahal menurutnya, moderasi beragama lebih dari sekadar itu. Mun’in menyebutkan pembahasan moderasi beragama bisa dilihat pada empat aspek.

"Perspektif tentang moderasi beragama, cara mendiskusikan moderasi agama, akar moderasi dalam agama, dan tantangan moderasi beragama," jelasnya.

Mun’in juga menyebutkan, moderasi di Indonesia belum tumbuh secara subur. Tantangan pertama yang dihadapi, bahwa kalau jika melihat dunia Islam, maka moderasi agama mengalami defisit dibandingkan dunia Kristen maupun Yahudi.

“Moderasi beragama di dunia Islam relatif lebih rendah. Pembatasan agama dan permusuhan sosial cenderung tinggi dan ini sudah dilakukan penelitian. Persoalannya apa yang menjadi faktor sehingga moderasi beragama tidak tumbuh subur,” tambah Mun’in.

Pertama, kata Mun’in penafsiran konservatif masa lalu yang tidak tepat termasuk pemilihan ayat untuk menjelaskan moderasi.

Kedua, ada momen imperial, ulama-ulama muslim menafsirkan ayat ayat alquran untuk menegaskan superioritas mereka atau kekuasaan mereka.

Ketiga, adanya kemandegan intelektual. Banyak sarjana yang telah mengekspresikan dengan kemandegan intelektual ini.

”Umat islam kehilangan daya dobrak, mengutip dari Nurcholis Madjid sehingga kita tidak berkembang. Kita juga mengalami dekadensi, keterbelakangan. Selain itu ada juga tertutupnya pintu ijtihad atau rethinking sehingga itulah yang membuat kita mengalami kemunduran,” tamdas Mun’in. (*)

  • Bagikan