JAKARTA, RAKYATSULSEL - Pakar ilmu politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ridho Al Hamdi menilai pelanggaran pemilu khususnya ketidaknetralan ASN dan politisasi bantuan sosial (bansos) bersumber dari keinginan untuk menang sekaligus takut kalah dari pasangan calon nomor urut 2 di Pilpres 2024 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Paslon 02 makin takut, khawatir kalau mereka tidak menang,” ujar Ridho di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Ridho melihat hal itu sebagi simbol paslon 2 makin ketakutan, makin khawatir kalau mereka kalah.
Menurut dia, sejak kampanye dimulai, khususnya paslon 02 terkesan menggunakan struktur birokrasi untuk menggerakkan pemenangan mereka.
Hal itu sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan paslon nomor 02 dan keterlibatan Jokowi yang sangat mendalam untuk memenangkan putranya, Gibran.
"Inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya gerakan pengusulan pemakzulan presiden. Itu yang kemudian wajar adanya pemakzulan. Dan, memang harus mengawal bahwa Luber dan Jurdil harus menjadikan prinsip utama Pemilu 2024," ujarnya.
Ridho juga menyoroti kinerja penyelenggara pemilu yang seolah lumpuh. Para tim sukses paslon pun bersuara keras atas hal tersebut.
“Penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu yang saat ini seakan tidak bisa berbuat apa-apa atau mandul, ya memang harus kami kritisi. Karena kalau enggak, mereka makin tidak becus kerjanya. Nah, jadi wajar ketika TPN Ganjar-Mahfud maupun Timnas Amin berteriak soal kecurangan pemilu di berbagai daerah,” ungkapnya.
Kondisi dan situasi saat ini dinilai sudah melanggar prinsip pemilu. "Jadi, ini sudah tidak jurdil. Paslon 02 benar-benar memanfaatkan struktur birokrasinya, program-program pemerintah, kelihatan banget, kalang kabut,” kata Ridho.
Ridho menilai paslon 02 kalah dalam hal positif dibandingkan paslon lain. Prabowo berulang kali kalah dalam kontestasi pemilihan presiden dan dinilai tidak banyak berbuat selama menjadi Menhan RI, sedangkan Gibran dinilai sebagai buah dari pelanggaran etik.
"Sehingga enggak ada yang bisa dipertaruhkan dari paslon 02 ini. Dalam banyak kesempatan, terutama debat capres, tidak ada yang bisa diandalkan konsep-konsepnya, malah joget-joget, politik santuy dan lain sebagainya,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Ridho menyerukan agar publik juga turut mengambil sikap.
"Mari rakyat, masyarakat luas, kita Kawal benar-benar, menjadi pemilih kritis, menjadi pemilih yang berani melawan kecurangan. Karena jelas di berbagai daerah paslon 02 ini memanfaatkan struktur birokrasi. Termasuk presidennya yang benar-benar memanfaatkan, memolitisasi sumber daya dan program-program pemerintah," pungkasnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis menduga ada konspirasi yang dirancang untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Salah satunya, maraknya aksi pelanggaran netralitas ASN di berbagai daerah.
“Ini juga ya, satu kecurangan yang sangat telanjang di depan mata kita dan tidak bisa dibenarkan sama sekali,” ujar Todung.
Tegur Presiden
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah mengatakan Badan Pengawas Pemilu dan kepolisian harus turun tangan untuk menanggapi laporan ketidaknetralan aparat pemerintah, termasuk yang dilakukan Presiden Joko Widodo Dan keluarganya.
“Bawaslu perlu lakukan penegasan atas pelanggaran yang dilakukan, meskipun mereka tidak bisa menindak karena bukan lembaga penegak hukum, tetapi setidaknya menyampaikan statement pengawasan agar diketahui publik jika keluarga Presiden sudah sewenang dalam mengemban amanah sebagai pejabat publik yang semestinya tidak mengekspresikan sokongan politik praktis secara vulgar,” ungkap Dedi.
Salah satu aksi keluarga Presiden Jokowi yang dianggap terlalu vulgar adalah dukungan Wali Kota Medan Bobby Nasution, menantu Jokowi dalam mendukung pasangan iparnya, Prabowo-Gibran Rakabuming.
Pada laman sosial media, Bobby kerap kali hadir dalam acara mendukung Paslon 02 dan baru-baru ini berjoget gemoy bersama istrinya.
“Bobby ini simbol buruknya penegakan hukum kepemiluan dan tentu lebih banyak lagi kemungkinan terjadi. Sebagai pejabat negara, Bobby harus netral, namun nyatanya memihak,” jelasnya.
“Regulasi untuk netralitas ASN sudah ada, tetapi minim penegakan dan masalah terbesar ada pada pimpinan mereka, seperti yang terjadi di Kota Medan, dipastikan ASN Kota Medan akan jadi mesin politik kandidat tertentu,” ungkap Dedi.
Di tengah maraknya pelanggaran netralitas ASN, Dedi menggugah kepolisian untuk menjalankan tugasnya.
“Kehendak netralitas itu seharusnya ada pada kepolisian, jika mereka mau sedikit berupaya, maka kepala daerah sekalipun tidak berani macam-macam,” sebut dia.
Kritik juga disampaikan kepada Presiden Jokowi selaku pemimpin negara dan juga ayah dari anak dan menantunya.
Tidak bisa dihindari, kata Dedi, Keluarga Jokowi membawa contoh buruk iklim politik Indonesia.
“Utamanya Bobby dan Gibran sebagai pejabat publik, Bobby dengan aksi promosi pasangan Prabowo dan Gibran dengan durasi cuti berlebihan. Ini etika yang cukup berantakan dari sisi pejabat publik. Jokowi sebagai Presiden semestinya sangat malu dengan kegagalannya membawa iklim politik nasional tidak kondusif,” tegas Dedi.