Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSA, RAKYATSULSEL - Kehidupan bermasyarakat senantiasa mendambakan jalinan tali kasih di antara sesama baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jalinan tali kasih dapat berupa kepedulian kepada orang lain misalnya membantu mereka yang masuk kategori mustadafin yakni mereka yang lemah dalam ekonomi, pendidikan, politik dan aspek kehidupan lainnya. Istilah lain menyebutnya dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan himpitan kebutuhan hidup.
Tali kasih adalah kepedulian untuk memasukkan kebahagiaan ke hati sesama manusia agar menjadi agenda kehidupan setiap orang. Tanpa membedakan agama, suku, ras, dan antar golongan. Islam sebagai agama ajaran dasarnya dapat dikategorikan ke dalam dua hal pokok yakni: beribadah kepada Tuhan mencari keridhaan-Nya, dan berkhidmat kepada sesama dengan memasukkan kebahagiaan ke hati sesama manusia.
Tuhan berfirman dalam hadis qudsi “semua makhluk adalah keluarga-Ku dan yang paling Aku cintai adalah mereka yang peduli terhadap sesamanya”. Kepedulian terhadap sesama menjadi jalan pintas mendekati Allah.
Dahulu hidup seorang sufi bernama Abu Said Abu Khair, ditanya oleh muridnya: Guru di sana ada orang yang bisa terbang? Abu Said berkata: itu bukan hal yang luar biasa, lalat juga bisa terbang. Guru di sana ada orang yang biasa jalan di atas air? Itu juga bukan hal yang luar biasa, katak juga bisa jalan di atas air.
Guru di sana ada orang yang bisa berada di beberapa tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan? Hal itu pun bukan sesuatu yang luar biasa, iblis lebih hebat dari pada dia, karena iblis bisa berada di hati jutaan manusia dalam waktu yang bersamaan.
Sang murid menganggap bahwa kehebatan seperti itu baru dapat diraih kalau seseorang memiliki kemampuan supranatural. Abu Said Abu Khair berkata keutamaan untuk dekat kepada Allah dapat diperoleh dengan kepedulian terhadap sesama.
Menyambung tali kasih adalah menjalin atau merawat silaturahim. Islam sangat menghargai hal ini, sehingga silaturahim menjadi perintah kedua setelah bertakwa kepada Allah. Dengan kata lain, orang bertakwa pasti menyambung silaturahim, kalau memutuskan silaturahim pasti tidak termasuk orang yang bertakwa.
Dikisahkan bahwa di akhirat nanti, ada orang yang sangat beruntung karena dapat berjumpa dengan kakek-neneknya yang tidak pernah bertemu dengannya, cucu-cicitnya yang tidak pernah bergaul dengannya. Mereka berkumpul di tempat yang sangat tinggi yakni surga Adn, keutamaan itu diraih karena menyambung yang diperintahkan Allah untuk disambung yakni silaturahim.
Ada beberapa hal yang menyebabkan silaturahim di antara kita terputus, yakni: kesenangan mencari perbedaan dan memberi label kepada orang lain dengan maksud negatif.
Misalnya, karena perbedaan dalam melaksanakan ajaran agama. Konon, seorang laki-laki di Afghanistan di pukul tangannya sampai patah, hanya karena lelaki itu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya waktu tasyahud.
Di beberapa tempat di Indonesia, umat Islam membangun masjid yang berbeda padahal masjid yang ada baru saja dirampungkan pembangunannya, dibangun lagi masjid di sampingnya hanya karena perbedaan adzan pada hari Jumat ada yang satu kali dan ada yang dua kali.
Kenapa umat Islam mau menghabiskan umur hanya perbedaan kecil seperti itu? Kemudian akhirnya memutuskan silaturahim di antara sesama muslim.
Silaturahim seperti halnya dengan ajaran Islam lainnya yang berorientasi kemasyarakatan dijadikan sebagai ciri atau karakterisitik orang-orang takwa. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad Saw. “siapa yang mengatakan diri beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya menyambung tali silaturahim”.
Sambungkanlah persaudaraan kepada mereka yang sudah memutuskan persaudaraan denganmu. Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk kepada kamu. Katakan kebenaran walaupun bertentangan dengan kepentingan dirimu. (*)