MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Upaya memborong partai politik untuk mendukung salah satu bakal calon gubernur Sulawesi Selatan membuktikan rapuhnya partai dalam menentukan sikap. Alih-alih mendukung penuh kader internal yang lebih potensial, partai politik malah merelakan 'tiketnya dibajak' oleh sekelompok kubu yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Wacana kolom kosong di Pilgub Sulsel menutup peluang dan opsi kandidat lain untuk ikut berkompetisi. Muslihat partai, membuat iklim politik di Sulsel, belakangan ini, sedang tidak baik-baik saja.
Keputusan sejumlah partai politik di Sulawesi Selatan yang memilih untuk tidak mengusung kader internal dalam Pilgub Sulsel tahun ini, menuai perhatian publik. Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Endang Sari menyebutkan situasi yang terjadi saat ini menunjukkan terjadinya disfungsi partai politik. Dia menilai, telah terjadi pelemahan kelembagaan partai politik di daerah ini.
"Pengurus partai seolah pasrah terhadap kenyataan yang tengah dihadapi saat ini," imbuh Endang, Kamis (25/7/2024).
Endang mengatakan, sejatinya partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen, dan kaderisasi politik. "Serta agregasi kepentingan dan pengatur konflik. Perkembangan politik di Sulsel menunjukkan betapa fungsi utama partai yaitu kaderisasi politik gagal total," imbuh Endang.
Dia menilai, dalam fungsi kaderisasi politik, partai seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan kader-kader pemimpin yang siap mengisi posisi di jabatan publik.
"Bukan sekadar sebagai perahu kekuasaan saja. Maka ketika dalam seleksi kepemimpinan publik yang hanya digelar lima tahun sekali seperti pilkada lantas partai tidak mengajukan kadernya sendiri menjadi calon, tentu ini menunjukkan bahwa terjadi disfungsi partai," tutur dia.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Profesor Sukri Tamma menjelaskan, secara umum kecenderungan partai politik di Indonesia memang bukan partai kaderisasi melainkan pada kepentingan massa.
"Ini bukan masalah kader atau bukan kader. Karena memang secara ideal partai politik kalau dia partai kader maka bagaimana pun itu akan mengusung kadernya, mau kalah atau menang pokoknya kader. Tapi, kecenderungan partai politik di Indonesia mengarah kepada apa keinginan massa atau bagaimana mendapatkan dukungan massa," ujar Sukri.
"Karena itu, kepentingan mereka adalah mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya. Mau kader atau bukan yang dimajukan (diusung) tidak ada masalah, yang penting dapat dukungan massa," sambung dia.
Sukri mengasumsikan, bila kecenderungan partai politik mengarahkan dukungan terhadap salah satu pasang calon tertentu saja, maka secara umum partai lain juga akan ikut mendukung dengan alasan berpotensi untuk menang.
"Saya kira semua partai di Indonesia bukanlah partai kader, partai yang betul-betul mengedepankan kader. Itu yang ada sehingga kemudian partai politik itu mengarah pada satu orang maka mungkin itu hitung-hitungan kepentingan partai untuk memenangkan pertarungan," urai Sukri.
Dia menjelaskan, saat ini koalisi yang dibangun pasangan Andi Sudirman-Fatmawati adalah koalisi gemuk. Sehingga jika ada partai yang ingin membentuk koalisi lain maka perlu mempertimbangkan beberapa hal, termasuk deal-deal kepentingan. Mengingat di Sulsel hanya Partai NasDem yang memiliki syarat untuk mengusung calon tanpa koalisi dengan partai lain.
"Ini, kan, hitungannya koalisi gemuk. Kalau ada yang berani mengambil sikap berbeda artinya harus bergabung dengan beberapa partai lain. Pertanyaannya, mau tidak partai lain itu mengambil resiko menghadapi koalisi gemuk. Asumsinya, Sudirman-Fatmawati memiliki potensi memang lebih besar, sementara di sisi lain pilihan rasionalnya mereka mungkin punya deal tertentu, punya pembicaraan tertentu, kepentingan tertentu yang bisa dikaitkan dengan dukungan itu," imbuh Sukri.
Mengenai alasan finansial partai politik lebih memilih "menyerah" dan mengalihkan dukungan kepada satu pasangan calon, menurut Sukri, semua kemungkinan itu ada. Namun, kata dia, tentunya partai politik memiliki pertimbangan lainnya dengan alasan setiap pertarungan tujuannya adalah untuk meraih kemenangan.
Dia menyebut, partai memilih bergabung dan membentuk koalisi gemuk bisa dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah terpenuhinya kepentingan partai. Terlebih jika semua kepentingan partai politik itu terpenuhi akan dianggap lebih baik.
"Apapun alasannya ini terkait kepentingan partai politik masing-masing. Mungkin partai politik juga akan melihat aspek itu salah satunya, tapi saya kira bukan hanya itu karena prinsip dasar partai politik itu bagaimana bisa menang. Tapi kalau dapat dua-duanya, potensi menang, menjadi bagian dari pemenang dan mendapatkan uang, yah, barangkali, itu pilihan. Tapi kalau uang saja, saya kira tidak juga. Tapi apakah ada deal-deal tertentu terkait kepentingan politik partai, yah, pasti ada," jelas Sukri.
Sehingga, kata dia, partai politik mengesampingkan kader sangat memungkinkan, terlebih jika kader itu masih belum meyakinkan untuk memenangkan pertarungan. Memilih menjadi oposisi dalam pertarungan Pilgub Sulsel 2024 akan memberikan pekerjaan tambahan bagi partai politik tersebut.
"Kalau mereka berpikir untuk bergabung dengan partai lain maka mereka harus bekerja sedikit lebih ekstra. Kenapa, mereka harus memastikan dukungan itu memang punya potensi menang dibandingkan yang didukung banyak partai. Kedua, mereka harus deal-deal dengan partai lain untuk bisa mendukung, itupun kalau partai lain sejalan untuk tidak mengikuti arus besar. Mereka lebih menimbang secara pragmatis, artinya melawan arus yang belum tentu potensi menang atau ikut arus yang potensial menang. Apalagi kalau, misalnya, kepentingan lainnya terpenuhi itukan tanda petik pilihan enak dibanding menjadi penantang," terang Sukri.
Adapun, pengamat Demokrasi Nurmal Idrus menilai, partai di Sulsel ragu-ragu melawan karena sistem demokrasi terutama dalam penentuan figur yang akan maju dalam pilkada sangat 'Jakarta sentris'.
"Artinya, daerah tidak punya kemampuan apapun untuk mengendalikan pencalonan di pilkada," kata Nurmal.
Dia mengaku pesimis akan peluang munculnya pasangan calon lain dengan kondisi yang terjadi saat ini. Menurut Nurmal, ada kecenderungan Pilgub Sulsel akan melahirkan pasangan tunggal yang akan melawan kolom kosong.
"Mengenai proses kaderisasi di parpol saya kira tidak gagal. Ada banyak figur yang disediakan oleh parpol tetapi kemudian pengaturan 'Jakarta' sangatlah kental sehingga mendegradasi figur potensial yang lain," imbuh dia.
Sebelumnya, sejumlah partai politik sudah menentukan arah dukungannya di pemilihan gubernur Sulawesi Selatan (Pilgub Sulsel) 2024. Pasangan Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi paling banyak menerima dukungan partai. Partai NasDem (17 kursi). Partai Gerindra (13), Partai Demokrat (7), dan Partai Amanat Nasional (4). Partai Golkar (14) dan Partai Keadilan Sejahtera (7) juga makin dekat ke pasangan ini.
Sejatinya, masih ada peluang head to head setelah melihat sebaran kursi yang tersisa. Partai Persatuan Pembangunan (8), Partai Kebangkitan Bangsa (8 kursi), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (6), dan Partai Hanura (1). Bila empat ini partai solid berkoalisi, maka bisa dipastikan Pilgub Sulsel hanya akan diikuti dua pasangan calon saja.
Golkar Masih Tarik Ulur
Sementara itu, Partai Golkar rupanya masih tarik ulur mengenai figur yang akan diusung di Pilgub Sulsel. Agenda penetapan yang rencana digelar Kamis (25/7/2024) di Jakarta mendadak batal.
Sekretaris Golkar Sulsel, Marzuki Wadeng menegaskan hingga saat ini DPP belum menetapkan figur yang akan diusung di Pilgub 27 November akan datang. Menurut dia, salah satu pertimbangan adalah masih adanya pendalaman dan pengamatan lewat survei untuk tahap III. Keputusan ini menjadi alasan sehingga DPP belum menentukan sikap menyerahkan rekomendasi.
"Saat ini belum ada. Belum ada info dari DPP. Bahkan tidak ada dari teman yang lain. Masih seperti biasa tunggu hasil survei," singkat Marzuki, Kamis (25/7/2024) malam.
Dia mengatakan belum mengetahui pasti kepada siapa rekomendasi Golkar akan diberikan. DPP Golkar, kata dia, masih melakukan pencermatan lebih mendalam terkait calon yang akan mendapatkan rekomendasi.
"Mengenai Golkar usung siapa di Pilgub, kan, belum ada rekomendasi. Berarti belum ada calon pasti. Tunggu saja rekomendasi resminya," kata dia. (isak pasa'buan-suryadi/C)