Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)
Kata politik tentu tak lazim di kalangan bagi kaum elite, sebab itu sudah menjadi bagian kerangka kerjaannya, pemikiran, dan aksinya. Panggung politik hampir tak pernah sunyi, selalu riuh, sedikit gaduh, penuh intrik, serta terkadang membawa kita pada ruang komedi.
Yang sesungguhnya, ruang komedi bukanlah tempat terbaik bagi politisi untuk memainkan perannya, apatah lagi mentransformasikan gagasannya untuk sebuah kemaslahatan orang banyak. Panggung komedi hanya bisa menjadi ruang bagi “pelawak” bagi para aktor stand up comedy yang dapat mengocok perut dan nurani. Bukan sekadar lawakan biasa tetapi juga terkadang menyeret ke hal-hal yang kritis.
Yah, politik dalam perspektif sains tentu dipahami sebagai seni bermain. Napoleon Bonaparte dengan metodologi catur dalam pertarungan politiknya. Hector dan Archilles ditandai dengan ketangkasan memainkan pedang, wonder Woman di tandai dengan ketangkasan memanah dan menunggang kuda.
Politik sebagai seni bukan hanya dipahami sebagai seni memainkan strategi, tetapi politik lebih dipahamkan sebagai sains untuk memberi pengaruh terhadap konstituennnya dengan melalui kampanye serta narasi kepada publik sebagai bagian seni memainkan politik.
Tetapi yang pasti bahwa politik bukanlah “mainan” yang kemudian aktornya cendrung bermain-main, sebab kekuasaan bukanlah kelinci permainan, sebab di dalamnya ada Trust (kepercayaan) publik yang diemban sebagai konsekuensi logis dari sebuah keterwakilan politik.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Mengapa Negara Gagal” Why Nations Fail, Awal mula kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan, yang ditulis oleh Baron Acemoglu dengan James A. Robinson, dipersepsikan bahwa suatu bangsa dan negara mengalami kegagalan dalam memberikan jaminan keamanan, peningkatan taraf hidup rakyatnya, perkara kemiskinan dan kemakmuran terabaikan, itu sangat disebabkan karena sikap empaty negara, dan termasuk di dalamnya lemahnya institusi-institusi negara termasuk partai politik serta departemen yang dikendalikan negara.
Hal ini sangat disebabkan karena dominasi politik elit yang domain dalam kehidupan kebangsaannya. Institusi-institusi negara satu sama lainnya saling memberi sikap “apriori” serta saling membangun ketidakpercayaan satu sama lain. Aktor politiknya memainkan “drama teatrikal” yang nyaris mengelabui rakyatnya.
Fenomena kegagalan ini sesungguhnya sudah bergerak dari waktu ke waktu termasuk ketika pelemahan di sektor departemen publik atau negara dilemahkan karena “despotisme politik”. Dalam hal ini yang terlibat penyelewengan kekuasaan cendrung dibela oleh sang penguasa.
Terjadinya inkonsistensi dalam praktik kekuasaan nyaris “menyeruduk” ruang publik, yang sesungguhnya esensi politik nampak kehilangan identitasnya. Fakta politik di era modern Indonesia, sepertinya kita pantas berdecat kagum pada permainan aktor politik yang mempertontonkan, papa minta saham, pelecehan nama baik presiden dengan mencatut nama pemimpin negara di kasus Freeport misalnya, masuk kasus e-KTP yang mentersangkakan ketua umum partai yang berlambang beringin itu, sekaligus ketua DPR RI, Setya Novanto yang beberapa tahun yang lalu, namun setelah praperadilan dimenangkannya, sontak publik begitu kaget sebab “papa sudah tersenyum” dan papa harus pulang.
Dua sosok wajah yang tersenyum sumringah dan simetris presiden Jokowi dan Setya Novanto nampak di media sosial begitu bahagia. Apakah ini petanda, bahwa pemimpin sementara saling membela, ataukah saling bersandiwara, atau memang mereka adalah para sang “lelucon” dipanggung politik? Entahlah!
Nah, kalau demikian adanya maka, selayaknya publik menghadiahinya dengan “tepuk tangan” sebab ia lepas dari jeratan hukum. Atau memang “kebenaran hukum” sudah terbeli di ruang yang gelap. Semua ini tentu haruslah dimaknai sebagai episode “lawakan” di panggung politik.
Kelucuan itu tak seharusnya muncul di ruang publik mengingat prosesi politik dengan ikhlas masyarakat ini memberi suaranya kepada siapa yang pantas untuk dipilihnya. Bukankah masyarakat tak pernah bermain-main di “bilik suara” ? untuk memilih pemimpinnya. Lalu kenapa politisi (tidak semua) memilih jalan lawakan itu untuk dihadirkan dihadapan masyarakat.
Tidak sedikit tentunya sang penguasa “lupa diri” setelah kekuasaan ada di genggaman tangannya. Milan Kundera (Cekoslowakia), mengatakan bahwa kekuasaan yang menindas sesungguhnya sedang melawan lupa. Yah, lupa sejarah tentunya, perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia bukan hanya mengikuti gerak zaman tetapi sejarah juga memberi andil dan ikut mendukung agenda-agenda perubahan di bangsa ini.
Hanya saja memang belakangan terakhir ini kita dijebak pada perilaku politik yang memaksa kita untuk meyakininya sebagai suatu proses politik yang berjalan dengan baik. Problem OTT, korupsi serta pembalakan disektor pemerintahan adalah realitas terburuk bangsa ini ketika ingin memasuki elan demokrasi yang bermartabat. KPK nyaris lumpuh di bawah kendali sang predator. Ironis bukan?
Makna demokrasi yang bermartabat adalah pilihan terbaik untuk mewujudkan cita-cita bangsa, bukan menafikkan kehidupan kebangsaan lalu menyuguhkan praktek kekuasaan yang tidak bermoral. Politik adalah keberpihakan, namun keberpihakan yang dimaksud adalah pada nilai, etika dan kebenaran, bukan pada kekuasaan serta politik kebohongan.
Trusting atau kepercayaan memang perlu dibangun di panggung-panggung politik, melalui debat gagasan serta transformasi ide untuk kemudian dikerjakan dikemudian hari, bukan gagasan oplosan serta gagasan “picisan” yang meninabobokan publik. Ini penting saya kira sebagai suatu “progress demokrasi” dalam tatanan politik yang terus berkembang.
Karenanya, perilaku politik menuju Indonesia yang lebih baik sangat dimungkinkan akan tumbuh dan berkembang apabila “etika dan nilai” menjadi mainstream dalam mendorong proses berdemokrasi, bukan “politik etis” atau politik balas budi sehingga “ketidak-benar-an” menjadi “kebenaran” melalui proses yang gelap di tangan penegak hukum yang ada.
Hitam putihnya hukum, menjadi lebih berwarna karena sarat dengan gerakan politik “siapa membela siapa”. Inilah gaya “despotisme politik” yang cendrung mengaburkan warna demokrasi dan politik yang sesungguhnya. Kegelapan hukum menjadi nokhtah hitam bagi pertumbuhan demokrasi. Setelah hukum di bredel lewat “Ghost hand” yang berjubah demokrasi. Ironis.
Pada fenomena berikutnya, partai politik yang diharapkan menjadi instrumen perjuangan atas keterwakilan politik rakyat justru semakin kesini semakin tidak berfungsi terutama dalam proses kaderisasi, sehingga yang muncul adalah “meminang tanpa ta’aruf” sehingga menciptakan berbagai spekulasi publik bahkan yang muncul adalah sentimen negatif.
Politisi lelucon, komedian politisi--itu sah-sah saja dalam demokrasi, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam hukum dan demokrasi. Hanya saja kalau kemudian politik dipenuhi “lawakan”, sehingga perilakunya menjadi lelucon diruang publik.
Oleh sebab itu, politik jangan melawan “lupa”, ingatan perlu dihadirkan sebagai bagian terpenting dalam proses berpolitik dan berdemokrasi yang baik. Bukankah demokrasi adalah menyangkut hajat hidup orang banyak? sejatinya suara-suara kemiskinan dari rakyat perlu didengar dan dirasakan. Sebab mustahil kita mampu menegakkan demokrasi tanpa rakyat yang mapan secara ekonomi dan cerdas secara politik. Sebab panggung komedian tentu berbeda dengan panggung politik.
“Dalam politik, semua berubah, orang-orang menganggap serius komedian, dan para politisi dianggap sebagai lelucon,” kata Will Rogers. (*)