Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kehidupan beragama masyarakat Indonesia kini dikenal adanya beberapa jenis kesalehan yakni kesalehan ritual, kesalehan sosial, kesalehan intelektual, dan kesalehan digital. Mereka yang tertib melaksanakan ibadah ritual seperti salat, puasa, zakat, zikir, doa, dan haji disebut saleh secara ritual. Hal ini sudah banyak yang meraihnya, ketika mereka diajak untuk zikir bersama, umrah bareng-bareng, majelis taklim disambut dengan cepat dan segera.
Berbeda ketika mereka diajak untuk mengentaskan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kepedulian terhadap sesama, kurang mendapat respons bahkan cenderung terabaikan. Padahal, hal ini termasuk bagian dari tugas keagamaan sebagai kelanjutan dari tugas kenabian untuk membebaskan manusia dari penindasan. Jenis kesalehan yang lain adalah kesalehan digital yakni mereka yang menggunakan media dengan cara bijak dan santun untuk meraih kemaslahatan bukan untuk menimbulkan kemudaratan dalam kehidupan masyarakat.
Satu lagi jenis kesalehan yang lain tidak boleh terabaikan dalam kehidupan seseorang yakni kesalehan intelektual. Sehubungan dengan istilah intelektual terdapat beberapa istilah yang sering digandengkan dengannya yakni sarjana dan ilmuan.
Sarjana dimaknakan sebagai orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan memperoleh gelar. Jumlahnya banyak, karena perguruan tinggi atau universitas setiap tahun kini ada yang setiap bulan memproduksi sarjana.
Ilmuan adalah mereka yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya itu dengan pengamatan, penelitian, dan analisisnya sendiri. Tidak semua sarjana dapat disebut sebagai ilmuan, hanya beberapa di antara mereka yang menjadi ilmuan.
Sementara intelektual bukanlah mereka yang hanya menunjukkan kelompok orang yang telah melewati pendidikan tinggi dan telah memperoleh gelar. Mereka juga bukan sekedar mendalami dan mengembangkan ilmunya dengan penelitian dan penalaran.
Mereka adalah komunitas atau kelompok yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka, kemudian merumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami setiap orang, serta menawarkan alternatif dan strategi pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.
Kajian Islam menyebut dengan istilah Al-Qur'an sebagai ulul albab, adalah kelompok atau komunitas manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Di antaranya mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Selain dari pengetahuan yang mereka dapatkan secara empiris.
Al-Qur'an menyebutkan: “Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya telah diberi kebajikan yang banyak. Dan, tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab” (QS. Al-Baqarah/2 : 269).
Al-Qur'an yang dua pertiga di antaranya berisi tentang kisah-kisah umat sebelumnya dipelajarinya sejarah berbagai bangsa dan dijadikan sebagai pelajaran yang bermanfaat, kemudian dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan dalam kehidupan. Seorang intelektual bertugas untuk menafsirkan pengalaman masa lalu yang dilalui suatu masyarakat, mendidik dengan pengalaman estetis dan memiliki gagasan yang cemerlang.
Al-Qur'an tidak hanya dipandang sebatas kitab suci yang menjadi bacaan dalam ibadah semata, melainkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdus Salam, salah seorang pemenang Nobel dalam bidang unifikasi gaya yang ditemukan, menyebutkan bahwa Al-Qur'an mengajarkan kepada kita dua hal: tafakur dan tasyakur.
Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang sekarang disebut dengan science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran sehingga kenikmatan itu semakin bertambah, inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan teknologi.
Karena itu, ulul albab bukan sekadar intelektual yang berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa sehingga karunia Allah dilipatgandakan nikmatnya. Melainkan memiliki ciri pembeda dengan ilmuan dan intelektual yakni pikiran dan akalnya turut bersujud di hadapan Allah. (*)