Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sebagai sesi awal dalam memahami kelas menengah di Indonesia, tentu haruslah dibangun dari suatu konsensus dalam satu tatanan negara. Sebab, sejarah bangsa-bangsa di dunia telah mendefinisikan secara gamblang bahwa sebuah negara demokrasi tentu harus dibangun dari empat kekuatan yaitu; pertama, kekuatan parlementaria sebagai representatif dari perwakilan politik rakyat. Hingga saat ini belum dapat mewujudkan cita-cita rakyat yang diwakilinya.
Kedua, kekuatan non governmnet organization (NGO) atau lebih dikenal dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ketiga, kekuatan media (pers) sebagai corong suci bagi transformasi komunikasi dari pemerintah ke masyarakat demikian pula sebaliknya.
Keempat, kekuatan mahasiswa, sebagai moral force yang ampuh mendorong keberlangsungan perubahan demokrasi disuatu negara.
Dan, di beberapa negara tentu mempunyai suatu performa dan kultur yang berbeda di dalam memainkan peran-peran kelas menengah (middle class).
Katakanlah di Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat sipil memainkan peranan yang pivotal dalam mengartikulasikan dan juga mengadvokasi suara-suara rakyat yang tidak mampu diakomodasi oleh penguasa atau partai-partai politik. Kegagalan partai politik di dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat tentu satu bukti bentuk pengkhianatan kepada rakyat. "Vox populi vox dei" hanya menjadi simbol pembenaran atas kekuasaan.
Peran kelas menengah dalam suatu proses perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan politik tertentu. Sehingga memang prosesi politik antara Indonesia dengan Malaysia tentu sangat berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat fenomena politik dari kedua negara.
Aksi buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei kemudian disusul aksi Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap 2 Mei adalah satu fenomena bahwa kekuatan civil society masih ada dan sangat memungkinkan untuk melakukan perubahan di negeri ini. Hal ini ditandai kekuasaan Orde Baru, misalnya, mampu dijatuhkan karena kekuatan civil society pada tanggal 21 Mei 1998.
Oleh sebab itu, menurut saya, ada beberapa varian utama yang menyebabkan perbedaan antara mainstream politik Malaysia dengan Indonesia. Yakni, pertama, ketidakmampuan rezim Soeharto memecahkan krisis ekonomi pada tahun 1990-an, sehingga mendorong rakyat melirik sistem demokrasi sebagai suatu solusi terhadap krisis ekonomi. Sedangkan rezim Mahathir Muhammad mampu memecahkan krisis ekonomi dengan cepat sehingga Malaysia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu keluar dari kekacauan ekonomi.
Kedua, di arena politik rezim Soeharto tidak mengizinkan oposisi di parlemen dan selalu mempergunakan pendekatan represif untuk meredam kritisme yang membuat rakyat Indonesia berkeinginan kuat menggantikan rezim agar mereka bisa berpartisipasi lebih dalam arena politik.
Sementara itu, rezim Mahatir memberikan ruang bagi oposisi dan mempergunakan pendekatan civilian untuk mengatasi kritik terhadap pemerintah.
Ketiga, Indonesia memiliki kelompok-kelompok masyarakat sipil yang relative lebih kuat dibandingkan dengan Malaysia. Keempat, kelas menengah di Indonesia relatif lebih independen daripada di Malaysia. Kelima, Indonesia mendapatkan tekanan internasional lebih kuat melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan organisasi non-pemerintah yang mendukung adanya perubahan pemerintah yang lebih demokratis terjadi di Indonesia dibandingkan dengan di Malaysia.
Akhirnya, perubahan juga disebabkan oleh suksesnya gerakan reformasi mengubah rezim di Indonesia ada tahun 1998,dan sementara itu gerakan reformasi di Malaysia relatif gagal.
Fenomena Politik
Reformasi yang sudah berjalan 26 tahun yang silam tentu sangat menyisakan berbagai persoalan kebangsaan yang ada. Berbagai pendapat publik menyeruak di permukaan menyoroti kegagalan era reformasi mendorong perubahan yang transendental di negeri ini.
Betapa tidak, reformasi berhenti di persimpangan jalan. Kegagalam reformasi adalah bukan hanya kegagalan struktural namun juga kegagalan kultural dimana agenda-agenda reformasi gagal di tengah jalan. Kelompok yang anti orde baru sekaligus yang menurunkan orde tersebut jauh terpinggirkan dari kekuasaan politik sehingga kebijakan yang lahir berkecendrungan tidak paham pesan-pesan reformasi. Bahkan para penentang orde baru pun hingga saat ini justru terjebak pada anomali politik. dengan diksi biarkan orde baru menjadi masa lalu dan kita menangkan masa depan, sekadar menghapus jejak sejarah karena ambigu kekuasaan.
Dan, mencoba pendekatan yang dipakai oleh Anthony Giddens seorang ilmuwan sosial yang berkebangaan Inggris pencetus gagasan ”Jalan Ketiga (The Third Way) yang sangat terkenal itu, yang dalam satu bukunya yang berjudul “ Beyond Left and Right”. Yang mengungkapkan adanya ketidakpastian yang dihadapi ummat manusia sekarang ini. Ketidakpastian yang dimaksudkan adalah sebuah konsekuensi logis yang harus diterima oleh manusia akibat dari situasi sosio-politik yang tidak menentu.
Kondisi ini tentu sejalan dengan situasi politik yang terjadi di negeri ini setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa 32 tahun lamanya. Sehingga Anthony Giddens mengilustrasikan bahwa ketidakpastian yang terjadi di negara barat lebih pada ketidakpastian tekhnologi. Sementara ketidakpastian yang terjadi di Indonesia lebih berdimensi politik dan ekonomi. Ini tentu sangat berbahaya bagi suatu bangsa dan negara.
Merespons kondisi sosio-politik tersebut memang sedang mengalami akut dengan indikator-indikator yang signifikan. Restrukturalisasi politik adalah bagian yang sulit terpisahkan dari fragmentasi politik kekinian. Entah itu adalah aliran politik ataukah sebaliknya politik aliran.
Tetapi yang pasti dinamisasi dalam kehidupan politik terus bergulir seperti roda pedati yang bergerak dalam pusarannya. Ini fakta empiris, dekonstruksi sosial yang merupakan bagian terpenting dalam peran strategi yang harus dimainkan oleh kelompok kelas menengah atau yang disebut sebagai civil society nyaris melebur dalam trend politik modern.
Dalam pengertian posisi kelas menengah hampir termarginalkan sebab disatu sisi kelompok ini tidak mampu memainkan perannya sebagai agent social.
Oleh sebab itu fenomena politik acapkali mengesampingkan kelompok satu ini dalam setiap pengambilan keputusan. Kontrol sosial sesungguhnya lebih banyak dimainkan oleh kekuatan ekstra parlemen di dalam mengapresiasikan keinginan-keinginan politiknya atas nama demokrasi dan rakyat.
Sekalipun memang tidak semua kelompok kelas menengah ini larut dalam frame kekuasaan sehingga tidak nampak secara jelas mana kelas menengah dan mana yang bukan kelas menengah. Ini seringkali kita jumpai adanya perilaku “amplopisme“ di kalangan middle class ini.
Pelacuran intelektual kelihatannya sulit terhindarkan akibat adanya tuntutan ekonomis sesaat. Dan, bahkan tidak sedikit para penggiat sosial larut dalam ritme kekuasaan bahkan ironisnya mereka jadi pekerja-pekerja politik oknum dan kelompok tertentu.
Melihat fenomena kelas menengah di Indonesia tidak cukup hanya melihat Malaysia sebagai negara tetangga terdekat. Thailand sebagai negera Asia Tenggara juga mempunyai fenomena yang berbeda dengan Indonesia.
Penggulingan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra pada 2007 kemudian menyusul perdana menteri berikutnya yang kemudian jatuh pada 2008. Sesungguhnya kejatuhan rezim tersebut pada dasarnya sangat dipelopori oleh kelompok kelas menengah yang melakukan aksi demonstrasi besar-besaran dengan menduduki Bandara Thailand.
Belum lagi beberapa negara-negara di daratan Amerika Latin yang juga sangat diwarnai oleh kekuatan civil society dalam penggulingan rezim yang berkuasa. Sehingga paling tidak posisi kelas menengah di Indonesia akan semakin mempunyai penguatan di dalam mengontrol jalannya pemerintahan yang ada.
Bukan berarti bahwa kelas menengah juga bertugas menurunkan pemerintahan yang sah, tetapi lebih dari pada itu kelas menengah dapat memainkan peran-peran strategis yang dapat memberikan konstribusi bagi keberlanjutan demokrasi di negeri ini.
Sekalipun memang harus disadari bahwa performa kelas menengah di Indonesia mengalami kemunduran akibat adanya kepentingan sesaat yang lahir dari ranah kelompok kelas menengah itu sendiri. Sehingga memang perlu penguatan kembali di dalam menemukan eksistensi middle class yang sesungguhnya.
Sebab secara harfiah demokrasi harus mendapat penguatan dari civil society sebagai kekuatan yang berpengaruh dalam sebuah Negara. Sehingga peran kelompok kelas menengah sangat diharapkan dapat memberikan penguatan akan nilai-niai demokrasi yang ada.
Tetapi yang pasti adalah bahwa kekuatan civil society harus mendapat tempat terhormat dalam perubahan iklim demokrasi di negeri ini. Kalaupun jalanan harus menjadi mimbar terbuka itu adalah tempat terindah bagi demonstran untuk menyuarakan aspirasi rakyat di saat negara lemah tak berdaya.
Politik momentum dan parodi panggung demokrasi di jalanan selalu saja menuai persepsi yang miring. Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral (the moral forces) adalah gerakan yang melanjutkan tradisi sejarah masa lalu, bahwa demokrasi sangat tidak mugnkin dibangun hanya karena dengan konsep tanpa bangunan kekuatan pressure group di luar parlemen.
Sebab ukuran demokrasi atau tidaknya sebuah negara bukan ditentukan oleh kualitas proses politik “yang penuh kecurangan” namun kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh control politik yang bukan hanya dilakukan oleh parlemen (yang hari ini masih sibuk bikin kegaduhan), tetapi parlemen jalanan masih sangat efektif secara massif untuk membentuk opini public bahwa “negara” dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja. Indeks demokrasi yang rendah sebagai bukti bahwa kesadaran masyarakat kita belumlah tumbuh secara sehat.
Gerakan mahasiswa yang lahir adalah kelahiran atas nama demokrasi, artinya bahwa demontrasi salah satu bukti bahwa demokrasi belumlah “mati” karena masih ada sekelompok orang yang masih mampu berteriak atas nama perjuangan rakyat. Dan anarkhisme yang terjadi hanyalah efek ketika kebuntuan komunikasi politik mengalami gangguan, yang bisa saja terselesaikan apabila kearifan lokal disuguhkan untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Adanya kritik dan demonstrasi adalah salah satu bukti kalau demokrasi masih ada.
Dan, diamnya kaum civil society dalam hal ini mahasiswa, sama halnya membiarkan kebenaran seperti air dalam tungku, mendidih, lalu dibiarkan, dan kemudian dingin. Seperti kata Ibnu Khaldun “Bila ketakutan menguasai kesadaran, maka kesadaran pun memiliki hak untuk mendiamkan kedzaliman”. Sehingga sangat perlu membangun kesadaran kolektif agar demokrasi tetap ada dan tidak mati sebelum ajalnya tiba. How Democratie Die---kenapa demokrasi mati? (*)