Menurut Azis, selama ini, yang sering berurusan dengan pihak berwajib terkait aktivitas tambang koridor adalah rakyat kecil atau pemilik lahan.
"Kasihan kalau rakyat kecil ditangkap karena memanfaatkan potensi SDA yang ada di daerahnya, sementara yang besar dimanjakan dengan izin, diberi IUP yang menguasai lahan-lahan mereka," katanya.
Narasumber kedua, Syamsir Anchi, memaparkan, bahwa meskipun rakyat diberi IPR, namun persoalan lingkungan hidup harus menjadi perhatian untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.
"Sumber daya alam memiliki peran ganda, sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai penopang sistim kehidupan. Ini memang harus melibatkan masyarakat lebih luas, misalnya memberi IPR," ujarnya.
Dia juga menyebutkan, bahwa terkait pengelolaan SDA, tidak hanya memperhatikan faktor ekonomi saja, tapi juga pemerintah harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.
Diskusi dalam rangka memperingati hari antikorupsi se-dunia itu, juga sempat mampir ratusan mahasiswa di depan Posko GP-MAK kebetulan berada di depan Gedung DPRD Sulsel, tempat mereka menggelar aksi. Mahasiswa meneriakkan yel-yel anti korupsi.
Diskusi yang dipandu oleh Wakil Koordinator GP-MAK itu, juga dihadiri sejumlah aktivis 98, yakni Susuman Halim dan Akbar Endra. Hadir juga mahasiswa Unhas dan aktivis lingkungan hidup dari PILHI, yakni Rida, Karmila Sari, dan Dewi Karlina.
Pada diskusi ini, para nara sumber dan peserta, mengimbau kepada pemerintah, agar keinginan Presiden Joko Widodo untuk memberikan izin pertambangan rakyat segera diwujudkan agar ke depan tidak ada lagi istilah tambang koridor (ilegal).
"Kalau rakyat memiliki IPR, sudah pasti tidak ada lagi istilah tambang koridor yang menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan. Kalau IPR diberikan negara dapat uang banyak," ujar Abdul Azis SH. (*)