Belum lama ini, Abdul Rahman Assegaf, memilih meninggalkan Partai Berkarya Pangkep dan berlabuh ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mantan calon Bupati Pangkep itu bahkan dinobatkan sebagai ketua PKB Pangkep pada Muscab serentak lalu.
Bupati terpilih Toraja Utara Yohannis Bassang (Ombas) meninggalkan Demokrat dan bergabung di Golkar. Kemudian, Wakil Bupati Kepulauan Selayar Saiful Arif yang lompat keluar melepas statusnya sebagai kader Demokrat.
Sementara itu, Wakil Bupati Maros, Suhartina Bohari juga digadang-gadang akan meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN) Maros dan akan bergabung dengan Golkar. Ia disebut-sebut bakal menahkodai Golkar Maros.
Ada juga, Wakil Bupati Jeneponto Paris Yasir meninggalkan Partai Gerindra dan gabung ke Partai NasDem.
Nama lain yaitu Wakil Bupati Tana Toraja dr Zadrak Tombeg gabung ke Gerindra dan Wakil Bupati Pangkep Syahban Sammana dan Wakil Bupati Barru Aska Mappe resmi seragam Partai NasDem.
Belum lama ini, Bupati Pinrang, Andi Irwan Hamid juga pindah dari Partai Demokrat dan bergabung dengan Partai NasDem.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan, faktor utama adanya politisi loncat partai karena era politik ideologis sudah berakhir.
"Istilah kader partai sebenarnya juga terminologi yang problematik. Masih adakah partai yg betul-betul melakukan kaderisasi, sehingga melahirkan kader partai," ujar Luhur.
Menurut dia, sekarang ini partai politik yang satu dan yang lain, tidak punya pembeda yang khas. Ketiadaan ideologi perjuangan membuat orang dengan mudah bisa berpindah partai, mengikuti arah kepentingan politiknya yang bersifat pragmatis.
"Tokoh-tokoh politik hanya menjadikan partai sebagai kendaraan politik untuk tujuan kekuasaan jangka pendek. Ketika usahanya gagal, ia bisa mencoba peruntungan di partai yang lain," tuturnya.
Dia menilai, bagi kepala daerah, migrasi partai bisa lebih kompleks persoalannya. Pertama, soal relasi partai politik dan calon kepala daerah yang diusung bersifat pragmatis.
"Tidak ada komitmen pasca pilkada yang dibangun di proses kandidasi, sehingga kepala daerah yang baru terpilih bisa meninggalkan partai pengusungnya. Bukan soal etis atau tidak etis," imbuh Luhur. (*)