Alasan pertama, menurut Umam, karena basis massa pendukung Demokrat lebih banyak memilih Prabowo. Dengan begitu, menurut dia, Demokrat tak akan kesulitan untuk mengonsolidasikan pendukungnya dalam Pilpres 2024.
"Basis pemilih loyal Partai Demokrat lebih banyak mendukung Prabowo ketimbang Ganjar Pranowo," kata Umam.
Alasan kedua, Umam juga menilai Partai Demokrat sering menempatkan partainya pada basis paradigma politik tengah-moderat. Hal ini, menurut dia, lebih dekat dengan Gerindra ketimbang PDIP yang mengklaim memiliki paradigma kiri-progresif.
"Spektrum tengah saat ini diklaim oleh tim Prabowo lebih merepresentasikan posisinya sekarang, di tengah PDI Perjuangan sebagai pengusung utama Ganjar yang mengklaim diri sebagai gerbong kiri-progresif dan Anies Baswedan yang lebih kuat merepresentasikan kekuatan politik Islam," kata dosen Ilmu Politik dan International Studies di Universitas Paramadina.
Terakhir, Umam menilai komunikasi antara Partai Demokrat dengan PDIP cenderung buntu.
"Partai Demokrat tampak kerepotan mengakses komunikasi langsung dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menjadi veto player sekaligus penentu arah gerbong koalisi Ganjar," kata Umam.
Alhasil, situasi itu turut mempengaruhi cara pandang Partai Demokrat yang menghendaki koalisi yang setara dan saling menghormati, ujar Umam.
Sebelum mendukung Prabowo Subianto, Partai Demokrat bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan bersama Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketiga partai itu mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Partai Demokrat keluar dari koalisi itu setelah NasDem dan Anies dinilai tak menepati janjinya untuk menjadikan AHY sebagai calon wakil presiden. NasDem dan Anies menggandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang sebelumnya justru berada di gerbong pendukung Prabowo Subianto. (jpnn)