Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Seiring dengan terbenamnya mentari di ufuk Barat di akhir tahun 2023, dan terbitnya fajar di ufuk Timur di awal tahun 2024 berbagai harapan dan kecemasan menyertainya. Apakah sejumlah harapan akan diraih atau justru kecemasan yang mendampingi, semua berpadu jadi satu.
Padahal perjalanan waktu termasuk menyambut Tahun Baru seolah-olah identik dengan baik atau buruk, untung atau buntung tidak berkaitan sama sekali. Keberuntungan yang akan diraih tergantung pada seberapa kuat usaha dan keyakinan meraihnya. Kecemasan hanya menjadi milik mereka yang berpangku tangan tanpa usaha dan kerja keras.
Berbagai aspek kehidupan yang patut menjadi renungan untuk memicu digenggamnya harapan masa depan. Pertama, aspek ibadah sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pemberi Dialah Tuhan, yang masih memberi kesempatan menghirup udara di tahun 2024.
Apakah kita termasuk orang yang mensyukuri nikmat karunia-Nya atau tergolong orang yang lalai mensyukurinya. Renungkan untuk selanjutnya koreksi dan betulkan jika memang kita termasuk mereka yang lalai, kalau sudah kita laksanakan tingkatkan dan perhatikan kualitasnya.
Alexis Carel salah seorang peraih Nobel dalam bidang biologi mengatakan, musibah yang menimpa manusia modern adalah mereka kehilangan kesempatan beribadah kepada Tuhan, dan tidak memiliki waktu untuk berdoa kepada-Nya.
Ibadah merupakan fitrah kemanusiaan, mengabaikan dan lalai melaksanakan ibadah berarti mengingkari fitrah kemanusiaan. Kebutuhan akan ibadah merupakan kebutuhan dasar manusia, bukan untuk menambah popularitas Tuhan dan bukan pula untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.
Kedua, perolehan rezeki. Sebagai umat beragama menyakini bahwa hidup ini adalah anugerah. Dunia adalah ladang untuk bercocok tanam, dan kematian adalah tibanya musim panen. Apa yang kita tanam itu pula yang akan kita petik. Kebaikan yang kita sebar, maka kebaikan pula yang akan kita petik. Keburukan yang dilakukan, maka keburukan berupa ganjaran yang akan kita dapatkan.
Tidak ada satu pun yang lalai dalam catatan para malaikat. Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hadapan Tuhan sebelum dimintai pertanggung jawab tentang: Usianya digunakan untuk apa, masa mudanya dihabiskan di mana, ilmunya diamalkan di mana, harta dan rezekinya diperoleh dari mana dan dimanfaatkan untuk apa.
Ketiga, sosial keagamaan. Ajaran agama diharapkan memberi acuan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai umat beragama tidak ingin hanya selamat seorang diri. Itulah sebabnya dalam setiap peribadatan tidak lepas dari hikmah kemasyarakatan. Ajaran Islam misalnya kenapa salat diakhiri dengan salam, kenapa puasa diakhiri dengan zakat, kenapa haji diakhiri dengan kurban.
Agar pelakunya menyadari bahwa yang ingin dicapai Islam adalah ketakwaan komunal, ketakwaan kolektif, ketakwaan bersama, ketakwaan sosial. Bukan ketakwaan personal, bukan ketakwaan perorangan, bukan ketakwaan pribadi.
Ketakwaan adalah bersifat universal. Semua agama dan keyakinan mengenal hal itu. Nelson Mandela pejuang kemanusiaan bukan seorang muslim. Namun, memahami bahwa memperjuangkan kemerdekaan adalah hal yang asasi, membela bangsa dan menegakkan kebenaran adalah nilai-nilai luhur.
Demikian pula Bunda Teresa Bojaxhiu yang lebih dikenal dengan panggilan Bunda Teresa juga buka seorang Muslimah. Tapi menegakkan kejujuran, membantu mereka yang lemah diyakini sebagai nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan. Karena ketakwaan adalah nilai universal sehingga dipahami oleh seluruh manusia secara universal.
Menataplah ke depan karena di sana sejumlah harapan menanti, jangan menoleh ke belakang karena boleh jadi ada kegagalan yang menyesakkan dada. Raih harapan dengan upaya maksimal selebihnya serahkan kepada Tuhan dengan tawakal, selamat datang Tahun Baru 2024 semoga sukses menyertai. (*)