Oleh: Ibnu Hadjar Yusuf
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan perkembangan yang mengkhawatirkan dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Setelah perjuangan panjang untuk mereformasi sistem politik pasca-runtuhnya Orde Baru, harapan akan terciptanya demokrasi yang kuat dan inklusif tampaknya mulai tercabik-cabik oleh kebijakan dan praktik yang merusak integritas demokrasi.
Pemerintahan Jokowi telah menjadi pusat perhatian dalam hal ini. Dimana Jokowi saat reformasi 98? Dia hanya sibuk memoles kayu mabel tetapi perjuangan para aktivis tersebut melahirkan demokrasi yang memungkinkan sipil yang bernama Jokowi situkang mabel menikmati kekuasaan hampir 10 tahun lamanya.
Dia (Jokowi) alih-alih merawat pejuangan para aktivis, malah memperburuk keadaan demokrasi dan bertindak otoriter. Tedapat dugaan-dugaan keterlibatan politiknya dalam proses pemilihan umum, khususnya terkait upaya untuk memenangkan anaknya dan kroni-kroninya dalam Pemilihan Presiden 2024.
Dalam proses tersebut, berita massif dan metode Quick Count yang dituduh mengarahkan opini publik menjadi senjata yang memicu kekhawatiran akan tergerusnya integritas demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul: apakah perjuangan panjang untuk mereformasi dan memperkuat demokrasi kita telah sia-sia? Apakah Indonesia masih teguh sebagai negara demokratis yang sesungguhnya?
Demokrasi, seakan menjadi pusat gravitasi bagi dinamika politik suatu negara. Namun, dalam konteks Indonesia, khususnya pada Pemilihan Presiden 2024, demokrasi diuji oleh gelombang berita massif dan dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam mengatur agenda politik.
Dengan penggunaan metode Quick Count yang tampaknya mengarahkan opini publik dan kemungkinan adanya agenda selubung yang melibatkan Jokowi, kita harus bertanya: apakah integritas demokrasi kita berada dalam risiko?
Pertama-tama, kita perlu memahami dampak dari berita massif yang disebarkan melalui lembaga survei menggunakan metode Quick Count. Meskipun metode ini telah menjadi alat yang lazim digunakan untuk memberikan gambaran awal hasil pemilihan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Quick Count memiliki potensi untuk memengaruhi opini publik.
Ketika hasil Quick Count dipublikasikan seolah-olah sebagai kebenaran mutlak, masyarakat dapat tergesa-gesa dalam membentuk pandangan mereka tanpa menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini, pada gilirannya, dapat merusak integritas proses demokratis yang seharusnya transparan dan adil.
Sudah dari awal ketidak percayaan publik mulai muncul akibat beberapa kejadian yang luar biasa, mulai dari diloloskannya gugatan di MK yang memberi karpet merah pada anak presiden dan dijatuhinya pelanggaran etik berat terhadap paman gibran yang memutus perkara tersebut, beredarnya video-video mentri yang mempolitisasi bantuan sosial hingga saat ini didapatinya data salah input oleh KPU yang terlebih banyak memberikan suara pada calon pasangan presiden Prabowo – Gibran.
Tepat pada tanggal 29 Mei 2023 lalu presiden Jokowi mengungkapkan secara gamblang dirinya akan cawe-cawenya dan kita bisa menduga bahwa pada hari ini cawe-cawe Jokowi hanya dimaksudkan untuk memenangkan anak tercitanya Gibran. (*)
Penulis merupakan dosen UIN Alauddin Makassar