MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Usia demokrasi memang tidaklah muda. Demokrasi lahir di tengah “kekerasan” terhadap manusia, ketidaktertatanya hukum (homo homoni lupus), adanya ketimpangan sosial di antara manusia satu sama lainnya. Perang dingin kapitalisme dengan sosialisme yang merujuk pada pola pengaturan ummat manusia termasuk penanaman terhadap ideologi.
Di tengah kemelut kekerasan, maka dicarilah solusi alternatif untuk memutus mata rantai kekerasan. Dan, (mungkin) saja demokrasi menjadi pilihan-dari sosialisme yang mengagungkan persamaan hak, serta perjuangan menuju masyarakat egaliter (masyarakat persamaan). Sementara kapitalisme tetap menjunjung power market (kekuatan pasar) yakni uang dan pasar.
Sosialisme di belahan timur dan kapitalisme di barat--dalam pertarungan ideologi nyaris memetakan manusia pada pilihan-pilihan politiknya. Sosialisme, hak-hak produksi yang setara di mata negara (egalitarian), sementara kapitalisme lebih pada prestise pada uang dan pasar.
Kapitalisme akhirnya menciptakan jurang pemisah yang tajam antara Si Miskin dengan Si Kaya, penguasa dengan rakyat jelata, pengusaha dengan buruh. Disparitas ini kemudian memicu kemudian bagaimana kalau demokrasi menjadi pilihan alternatifnya?
Alvin Toffler seorang penulis buku tentang kejutan dengan tiga gelombang pemikirannya; gelombang agraris, gelombang industri, dan gelombang informasi. Tetapi yang menarik adalah karyanya yang cukup mengejutkan yakni “Pergeseran Kekuasaan”.
"Pergeseran Kekuasaan" adalah pola-pola bergeraknya kekuasaan dari pola-pola otoritarian ke arah peradaban milenium yang disebutnya sebagai demokrasi. Bagi Toffler, demokrasi menjadi pilihan dari ketegangan dan kekerasan terhadap dunia. Karena itu harus diakhiri dengan cara menata dunia dengan peradaban yang baik, humanis dan egaliter.
Berkenaan dengan itu, pada sisi yang lain demokrasi adalah sistem pemerintahan lewat perwakilan yang umumnya banyak dijalankan di negara barat. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Latin “demos”, yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan.
Sistem ini mensyaratkan adanya pemilihan umum berkala di mana rakyat memilih wakil-wakil mereka. Tapi, ada kalanya demokrasi itu mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan diktator.
Daniel Ziblatt adalah maha guru sistem pemerintahan di Universitas Harvard di Amerika, yang baru saja menerbitkan buku berjudul “How Democracies Die” atau Mengapa Demokrasi Mati, yang ditulisnya bersama Profesor Steven Levistsky pakar ilmu politik di universitas yang sama. Kedua tokoh ini mencoba menyuguhkan pikiran-pikiran yang kritis tanpa pesimisme terhadap demokrasi itu sendiri.
Ziblatt menyebut empat ciri-ciri yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan diktator. Ketika membahas bukunya dalam sebuah diskusi di Universitas Harvard belum lama ini, Profesor Ziblatt mengatakan, “Kita melihat dalam kampanye pemilihan presiden yang baru lalu, calon presiden partai Republik melancarkan serangan atas media, dan mengancam tidak akan menerima hasil pemilihan umum.
Ia juga menuduh saingan politiknya sebagai penjahat dan mengancam akan menjebloskannya ke penjara, kalau ia menang, dan ia juga membiarkan terjadinya aksi-aksi kekerasan.” Kata Ziblatt, keempat ciri itu bisa dianggap sebagai petunjuk adanya sistem pemerintahan yang otoriter.
Dan, tidak seorangpun calon presiden dari partai besar di Amerika yang pernah melakukan hal itu. Karena itu kami ingin melihat negara-negara lain yang pernah mengalami ancaman terhadap sistem demokrasi, dan bagaimana mereka mengatasi krisis itu. Atau bagaimana sistem demokrasi dikalahkan oleh sistem otoriter itu,” ujarnya.
Ketakutan Zilbatt atas beberapa anomali itu justru akan membunuh demokrasi di tengah jalan. Kata Profesor Ziblatt, masalah yang dihadapi sistem politik di Amerika saat ini bukan hanya disebabkan oleh Donald Trump (sebagai studi analisis) semata.
“Bukan hanya komentar-komentarnya yang mengejutkan dan berlebihan, dan latar belakang kejiwaan yang tidak biasa dan membingungkan. Tapi kita juga harus sadar bahwa semua itu hanyalah usaha pengalihan perhatian, dan kita harus bisa mempertahankan fokus pada hal-hal yang lebih penting.” Tentunya demi menyelamatkan demokrasi.
Cara terbaik untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter adalah mencegah supaya pemimpin seperti itu jangan mendapat kesempatan untuk berkuasa, kata Ziblatt. Ini berarti kita harus menyimak bagaimana Donald Trump terpilih saat itu, dan bagaimana ia bisa menjadi calon sebuah partai besar.
Dalam masa Perang Dingin dulu, 75 persen kegagalan sistem demokrasi di seluruh dunia disebabkan kudeta militer. Dan, peristiwa politik itu banyak terjadi di belahan negara-negara Amerika Latin yang kita kenal dengan Junta Militer-yaitu militer mengambil kekuasaan tanpa sebab.
Tapi, sejak runtuhnya sistem pemerintahan komunis, dunia telah berubah, kata Ziblatt. Kebanyakan pemerintahan demokratis dikalahkan lewat pemilihan umum, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politiknya. Menawarkan ide-ide tentang perubahan dunia yang lebih baik. Begitu pula yang ditawarkan oleh Alvin Toffler dari beberap aseri pemikirannya.
Namun di tengah tumbuh-kembangnya demokrasi, para demagog seperti itu naik ke puncak kekuasaan lewat pemilihan umum, dan kemudian ia akan mulai menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi. Dan fenomena ini terlihat di beberapa negara-negara di dunia, dengan memperhatikan munculnya ketegangaan, kekerasan hingga pada kecurangan-kecurangan pemilihan umum.
Dalam sejarah dicatat hingga tahun 1972 calon-calon presiden Amerika dipilih oleh para pemimpin partai, dan peran rakyat boleh dikata tidak penting. Tapi sejak itu, pemilihan presiden dilakukan secara lebih terbuka, melalui proses pemilihan umum secara terbuka. Inilah yang terjadi tahun 2016.
Donald Trump, demagog zaman modern menjadi calon presiden partai Republik. Dan pada akhirnya sejarah berulang kembali. Italia tahun 1920-an, Jerman tahun 1930-an, dan Venezuela dalam tahun 1990-an, dan beberapa negara penganut demokrasi lainnya, termasuk negara-negara dunia ketiga (negara berkembang)---dan (mungkin) Indonesia salah satunya, dengan melihat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang turun.
Menurut pengukuran dari EIU; Indonesia berada di kategori “Flawed Democracy” atau demokrasi terbatas dengan skor total 6,71 dan menempati urutan ke 52 dari total 165 negara di dunia.
Dan, sepertinya Alvin Toffler bersepakat dengan Daniel Zilbatt dan Steven Levistsky-tentang ciri-ciri bagaimana demokrasi mati, dibunuh dengan sadis oleh pengagumnya salah satu diantaranya adalah ; kecurangan dalam pemilu, kekerasan dan ketegangan-ketegangan politik yang terjadi di sebuah negara. (*)