JAKARTA, RAKYATSULSEL - Psikolog anak Seto Mulyadi ikut prihatin dengan pengaruh negatif game maupun konten lainnya yang mengandung unsur kekerasan. Menurut dia, maraknya kekerasan di kalangan anak, bisa dipicu oleh game yang mengandung tayangan kekerasan. Dia berharap pemerintah bisa mengambil peran tegas, melindungi anak-anak.
Pria yang akrab disapa Kak Seto itu menuturkan dalam perkembangannya, anak membutuhkan rangsangan positif. Supaya bisa membangun karakter baik seperti berakhlak mulia, gotong royong, kompak, dan sejenisnya. Karakter-karakter ini, bisa tumbuh dari konten atau sumber yang dikonsumsi.
"Bisa dari buku, lagu, tayangan televisi, sampai dengan game," katanya di Jakarta pada Jumat (12/4).
Celakanya, jika konten-konten tersebut memiliki unsur kekerasan, yang tumbuh pada anak-anak bukan karakter yang positif. Justru sebaliknya, yang tumbuh adalah karakter negatif.
Kak Seto prihatin dengan aksi kekerasan yang melibatkan anak-anak. Dia mengatakan bullying saat ini sudah bukan ejekan atau verbal saja, tetapi sudah dalam bentuk kekerasan fisik.
Bahkan dalam beberapa kasus sudah sangat tidak manusiawi. Kemudian juga kasus geng motor yang berujung kekerasan saling serang. Kondisi itu mirip sekali dengan adegan atau tayangan di sejumlah game atau film.
Untuk itu dia mengatakan pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo harus segera bertindak tegas. Game maupun konten digital yang mengandung unsur kekerasan harus dibersihkan.
"Kominfo punya sumber daya untuk melakukan itu. Jangan sampai terlambat," jelasnya. Selain unsur kekerasan, konten negatif lain seperti pornografi dan radikalisme juga harus dijauhkan dari anak-anak.
Terkait bahaya game online bergenre battle royale seperti Free Fire, Psikolog Stenny Prawitasari mengungkapkan game seperti ini memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental dan emosional anak-anak.
Game seperti Free Fire mengandung adegan kekerasan yang intens, termasuk pertempuran dan penggunaan senjata. Bermain game semacam ini secara berulang dapat membuat anak-anak menjadi desensitisasi terhadap kekerasan, di mana mereka mungkin menjadi kurang peka terhadap konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi antara bermain game kekerasan dan peningkatan agresi pada anak-anak. Dalam lingkungan yang kompetitif seperti game bergenre battle royale, anak-anak mungkin lebih rentan terhadap perilaku agresif, seperti berkata kasar atau mengekspresikan kemarahan saat kalah dalam permainan. Ini juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan keterampilan sosial dan kemampuan berkomunikasi anak-anak.
Stenny menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap permasalahan dampak game online pada anak-anak. Hal ini memerlukan upaya untuk memperketat regulasi dan aturan yang mengatur penggunaan game online, khususnya bagi kalangan anak-anak.
Pentingnya regulasi bertujuan juga terhadap kesehatan mental dan emosional anak-anak. Pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten game yang mengandung kekerasan dan tidak sesuai dengan usia anak perlu diperkuat untuk melindungi generasi mendatang dari potensi dampak negatif.
Tidak hanya pemerintah, peran orang tua juga sangat vital dalam menjaga kesehatan mental anak-anak dalam bermain game online. Orang tua perlu terlibat secara aktif dalam memantau dan mengatur waktu bermain game anak-anak, serta memberikan pengarahan yang tepat tentang konten yang aman dan sesuai dengan usia mereka.
Dengan kerja sama antara pemerintah yang lebih tegas dalam regulasi dan peran aktif orang tua dalam mendidik anak-anak tentang penggunaan game online yang bertanggung jawab, diharapkan dapat diciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi perkembangan anak-anak di era digital ini. (Jp)