Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), isu soal dinasti politik dan nepotisme menjadi hangat. Pro dan kontra mewarnai percakapan soal bakal calon yang merupakan kerabat dari petahana.
Sebenarnya perdebatan soal dinasti politik ini sudah selesai pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menghapus pasal soal dinasti pada Undang-undang Pilkada. Kerabat petahana bisa anak, istri, suami, adik, kakak, orangtua, mertua dan ipar.
Pengalaman pemerintahan Orde Baru saat Soeharto sebagai presiden, nepotisme terkait atau bersanding dengan korupsi dan kolusi yang biasa disebut KKN.
Nepotisme secara etimologi berasal dari bahasa Italia yaitu “nepote” yang artinya kemenakan. Yang populer akibat praktik kepausan pada abad 17 Masehi memberikan bantuan khusus pada cucu dan kerabat mereka.
Putusan MK dalam sengketa pilpres yang telah dibacakan pada 22 April 2024, dalam pertimbangan hukumnya mengenai jabatan wakil presiden yang syarat nepotisme yang dilakukan Presiden Jokowi, oleh hakim MK dikatakan “jika jabatan yang pengisiannya melalui pemilihan (elected position) dan bukan jabatan yang ditunjuk/diangkat secara langsung” atau dengan kata lain jabatan yang diisi melalui pemilu tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme.
Bahkan, negara nenek moyang demokrasi yaitu Amerika Serika, juga tidak terlepas dari praktik nepotisme dalam pemerintahan dan politik. Malahan sepuluh persen anggota kongres Amerika berasal dari dinasti politik. Malahan ada dua dinasti politik yang populer di USA, yaitu Kennedy dan Bush.
Tidak hanya di negara maju seperti Amerika, tapi pada negara berkembang juga marak seperti dinasti Bhutto di Pakistan, Ghandi di India, Shinawatra di Thailand, dan Bombong Marcos di Filipina.
Politik dinasti di Indonesia identik dengan Provinsi Banten pada masa Ratu Atut Chosiyah sebagai gubernur. Pada saat itu ada 9 kerabatnya yang menduduki posisi sebagai anggota legislatif dan kepala daerah. Yang menjadi momok jika dinasti politik berkuasa adalah praktik nepotisme dalam menjalankan pemerintahan. Tentu saja hal itu bisa dicegah dengan fungsi kontrol dari masyarakat, NGO, DPRD, dan elemen masyarakat sipil lain.
Masyarakat selaku pemilih, pasti akan mempunyai pertimbangan tersendiri untuk menentukan pilihannya. Yang jadi persoalan dalam kontestasi semacam Pilkada adalah mekanisme pengawasan oleh lembaga semacam Bawaslu menjalankan fungsinya pada semua peserta pemilu atau pilkada. Sehingga kita tidak lagi terjebak dalam soal nepotisme dan dinasti.
Jika dalam tahapan pilkada ada pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon, maka harus ditindak tanpa pandang bulu. Dengan demikian penegakan hukum pemilu yang konsisten akan menyaring calon yang memang dikehendaki oleh pemilih.
Selain penegakan hukum pemilu, tak kalah pentingnya adalah partai politik harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi kader secara benar, tidak secara instan seperti yang marak terjadi selama ini dalam helatan pilkada, pilpres dan pemilu. Yang dilandasi oleh kepentingan pragmatis sesaat.
Bahkan penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu mendapat legitimasi untuk mendiskualifikasi pasangan calon yang melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang kerap dilakukan oleh kepala daerah untuk memenangkan jagoannya atau lazim disebut membangun dinasti.
Pelanggaran TSM tersebut dapat berupa arahan atau instruksi pada kepala dinas dan camat untuk memenangkan kerabatnya, pengangkatan pejabat dalam lingkup pemerintahannya yang melanggar aturan. Arahan tersebut dirancang dalam skala yang luas dan hampir mencakup wilayah daerah yang dipimpinnya.
Kalau memang ada cawe-cawe yang bersifat TSM maka Bawaslu jangan segan-segan untuk mendiskualifikasi calon. Dengan otoritas mendiskualifikasi calon, maka bisa menyaring calon yang kompeten untuk memimpin roda pemerintahan, tanpa melihat atribut yang bersangkutan ada hubungan kekerabatan dengan petahana. (*)