Oleh : Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Membangun demokrasi tentu tidaklah mudah. Berkaca dari pemikiran Francis Fukuyama, misalnya, dengan tesisnya “The end of history” matinya sejarah, dan kemenangan kapitalisme, yang dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk penegasian terhadap demokrasi di Eropa yang berbasis kapitalisme.
Spirit kapitalisme dalam pandangan Max Weber yang ditulis dalam buku ‘The protestan etics, sebagai spirit kapitalisme” sebagai penanda bahwa tumbang sosialisme di timur adalah kebangkitan kapitalisme di barat.
Bagi negara barat di bawah kendali Amerika Serikat, misalnya, melalui berbagai pemikiran yang ada, disebutkan bahwa demokrasi di Amerika pun baru bisa dilaksanakan setelah usia kemerdekaannya 100 tahun.
Artinya, formulasi untuk menemukan demokrasi sebagai pilihan alternatif dari kegilaan fasisime dan Nazi di Jerman menjadi alasan yang kuat bagi negara-negara Eropa untuk mengambil jalan lain untuk demokrasi. Walau disadari bahwa demokrasi yang berbasis kapitalisme hingga saat ini sangat berbiaya mahal dan penuh dengan resiko.
Demokrasi yang diyakini belum sepenuhnya memberikan jaminan bagi setiap warga negara maupun nation untuk secara substantif melibatkan diri untuk demokrasi. Biaya politik, misalnya, dengan biaya yang mahal pada akhirnya berujung kepada perilaku koruptif bagi aktor kekuasaan dan politisi di semua jenjang.
Dengan dalih pembenaran yang konyol demi untuk mengembalikan uang politik. Demokrasi mungkin tidak salah, tetapi aktor kekuasaan atau politisi telah merusak tata nilai dalm demokrasi dengan cara mencemarinya dengan politik uang, misalnya.
Theodore Putih pernah mengungkapkan satu kalimat “Bahwa uang yang mengalir dalam politik, sesungguhnya intu pencemaran demokrasi”.
Karena itu, tidak mudah sampai kepada demokrasi yang substantif dan transendental, mengingat masih banyaknya variabel yang tidak terpenuhi dalam tata nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Indeks demokrasi seringkali dihadapkan pada beberapa hal; seperti kebebasan dan hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, korupsi, kekerasan politik, intimidasi, ketidaknetralan pemerintah dalam soal-soal hukum dan politik.
Dari perjalanan sejarah tentang demokrasi dari Socrates, misalnya, “tentang suara terbanyak” dengan analogi nakhoda kapal. Dalam sebuah perjalanan di tengah samudra, menghadapi badai, secara tiba-tiba nakhodanya meninggal dunia. Lalu, dengan konsep suara terbanyak ditunjukklah satu orang di antara ABK maupun penumpang dalam kapal.
Ternyata salah seorang penumpang disepakati dengan suara terbanyak---tetapi ia tidak memiliki kecakapan dalam mengemudikan kapal, maka tentu kapal ini penuh dengan resiko di tangan seorang nakhoda yang tidak memiliki kecakapan dan keahlian di bidang pelayaran, maka bisa saja kapal tersebut tenggelam atau karam di tengah hantaman badai. Jadi Socrates (bisa saja) menerima demokrasi dengan syarat yang mumpuni, bernalar baik dan punya kepemimpinan yang bisa diandalkan.
Bagi Taqiyuddin An Nabani---demokrasi sebagai sistem kehidupan memiliki banyak kekurangan,hanya dengan dalih suara terbanyak. Dalam hal most voice (suara terbanyak) akan memungkinkan terjadinya persekongkolan jahat dalam politik, dan bisa saja akan memilih pemimpin yang zalim dengan suara terbanyak demi kepentingan kekuasaan yang korup. Bagi Taqiyuddin An Nabani, demokrasi pada akhirnya akan memunculkan diktator atau otoritarianisme atas nama suara terbanyak.
Tentang tirani, misalnya, Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh, yang ditulis Timothy Snyder; bertepatan dengan runtuhnya Uni Soviet pada pengujung abad ke-20, banyak masyarakat berharap bel penutup pagelaran tirani penguasa pun berbunyi. Perubahan politik dunia juga cukup dramatis.
Periode awal 1970-an hingga pertengahan 2000-an, Samuel P. Huntington menyebutnya sebagai "Gelombang Ketiga Demokratisasi" karena negara demokrasi yang awalnya berjumlah 35 negara melonjak pesat menjadi 110 negara. Hal tersebut membuktikan bahwa terkesan demokrasi mengalami perkembangan dalam sistem tata kelolah politik dunia.
Demokrasi memang meniscayakan setiap individu secara leluasa untuk menuliskan setiap peristiwa publik tanpa adanya mekanisme kontrol dari penguasa, serta memberi kebebasan berserikat dalam lingkup kecil maupun besar bagi masyarakat. Namun, di sisi lain demokrasi tidak menjamin hal yang disebutkan tadi berjalan semestinya serta bebas dari tirani penguasa dalam pusparagam bentuknya.
Dengan demikian kebebasan yang dipunyai demokrasi menjadikannya sebagai pisau bermata dua yang mungkin bisa menyayatkan sejarah tiran Timothy Snyder melalui karyanya On Tyranny (Tentang Tirani) ini menyuguhkan pelajaran ihwal cara antisipasi dari kebijakan menuju kuasa-kuasa tirani yang sangat memungkinkan terjadi di ruang demokrasi.
Profesor dari Yale University ini membawa pikiran dan nalar kita untuk melihat ke belakang, pada tahun-tahun demokrasi tersabotase oleh otoritarianisme. Sejarah akan mengungkapkan momen terburuk dalam wajah demokrasi yang bunuh oleh politik kapitalisme yang membeli hukum dan politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Memahami satu momen adalah melihat kemungkinan turut menciptakan momen berikutnya. Hari ini kita hidup di lingkungan modern, kompleks, serta rekursif yang mengandung banyak feedback loop (suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa sebelumnya), yang mengakibatkan kemungkinan akan apa saja bisa terjadi, termasuk berkuasanya otoritarianisme dan matinya demokrasi---sebagaimana yang di tulis oleh Daniel Zilbatt dalam bukunya “How Democracie die” bagaimana demokrasi mati.
Dengan memahami narasi sejarah tentang otoritarianisme memungkinkan kita untuk bisa belajar dan menghindarinya. Pada 1938, ketika Hitler berkuasa, ia mengancam akan menyerbu negara tetangga, Austria. Hal ini berakibat menyerahnya kanselir Austria dan kepatuhan warganya untuk mengantisipasi, menentukan nasib orang-orang Yahudi Austria.
Awalnya, kepatuhan untuk mengantisipasi berarti menyesuaikan diri secara naluriah kepada situasi baru, namun hal ini sia-sia dan tetap terjadi pemusnahan besar-besaran atas orang-orang Yahudi tersebut serta semakin langgengnya kuasa otoritanisme Nazi di Jerman dan negara sekitarnya.
Stanley Milgram, seorang ahli psikologi Amerika mengungkapkan, "Orang sangat mudah menerima aturan baru dari latar baru. Orang ternyata bersedia menyakiti dan membunuh orang lain demi suatu tujuan baru bila diperintahkan demikian oleh otoritas baru.
Dari situ Snyder memberi kita satu pelajaran penting, "Jangan patuh begitu saja, sebagian besar kekuasaan otoriterianisme diberikan dengan gratis. Pada zaman seperti itu, orang-orang berpikir mengenai apa yang akan diinginkan pemerintah yang lebih represif, lalu menawarkan diri tanpa diminta.
Seorang warga yang menyesuaikan diri dengan demikian berarti mengajari kekuasaan mengenai apa yang bisa dilakukan." "Kehidupan itu politis, bukan karena dunia peduli mengenai yang kita rasa, melainkan karena dunia bereaksi terhadap apa yang anda lakukan.
Setiap pilihan, baik sikap maupun kepercayaan kita sangat mungkin berpengaruh untuk masa depan. Pada masa kekuasaan Stalin, penggunaan simbol seperti petani kaya yang digambarkan sebagai babi, atau pada masa kekuasaan Hitler yang memberlakukan label "Yahudi" dan "Arya" untuk warganya berujung pada maut.
Sehingga beberapa warga awalnya menerima semua (simbol kebencian) itu sebagai tanda kesetiaan, namun ketika kesadaran itu sudah menjadi kesadaran kolektif dan ranah publik dipenuhi dengan simbol yang sama, perlawanan menjadi terlupakan serta melanggengkan kekuasaan.
"Dengan menerima ritual, menerima penampilan sebagai realitas, menerima aturan permainan yang ada, sehingga memungkinkan permainan berlangsung dan berlanjut.
Dan di belahan negara dunia ketiga seperti Indonesia mengalami hal serupa dengan menerima ritual politik lima tahunan dalam kontkes pemilihan umum—dengan menodai demokrasi dengan cara-cara kotor seperti politik uang, kecurangan dalam pemilu, dan berbagai praktek politik koruptif yang dibungkus dalam lebel demokrasi.
Namun Timothy Snyder juga menyampaikan, "Kita tunduk kepada tirani ketika kita menyangkal perbedaan antara apa yang ingin kita dengar dengan apa yang sebenarnya dilakukan”. Penyangkalan atas realitas seta melanggengkannya bias konfirmasi itu mungkin saja terasa menyenangkan, tetapi hasilnya adalah kemusnahan kita sebagai individu.
Dalam lingkup negeri ini, belakangan kita sering melihat bagaimana simbol-simbol kebencian kita biarkan dan menjadi hal lumrah di setiap perhelatan politik, serta munculnya media alternatif dadakan yang validitas informasinya tak dapat dipertanggungjawabkan sudah menjadi konsumsi sehari-hari.
Perselisihan secara politik dalam ruang demokrasi adalah satu bentuk “mendesain prilaku politik agar tetap terlihat baik” walau sesungguhnya itu sebuah kejahatan dalam politik yang mengatasnamakan demokrasi.
Karena itu, demokrasi akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja, dan sedang bergerak menuju otoriatarianisme.
Dan pada akhirnya kita akan dihadapkan pada kepatuhan atau perlawanan. Eric Fromm ; dalam sebuah pandangan tentang kepatuhan, ia mengungkapkan “Bahwa sejarah ummat manusia lahir dari ketidakpatuhan, dan boleh jadi sejarah ummat manusia akan berakhir karena kepatuhan”.
Dan dititik ini, kita akan dihadapkan pada pilihan yang krusial untuk memilih antara “ketidakpatuhan terhadap demokrasi, dan kepatuhan hepada otoritarianisme”. (*)