MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Komisi Pemilihan Umum se-Sulawesi Selatan telah finalisasi anggaran pemilihan kepala daerah-gubernur, bupati, dan wali kota 2024. Perhelatan secara serentak tersebut akan menelan dana sebesar Rp1,3 triliun. Kementerian Dalam Negeri meminta dana tersebut sudah harus cair 60 persen hingga 10 Juli mendatang.
Dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 se-Sulsel, menghabiskan anggaran Rp1,1 triliun lebih. Selain itu, terdapat tambahan anggaran dari Pemprov untuk kabupaten dan kota sebesar Rp232 miliar. Sehingga jika dijumlahkan dengan total anggaran NPHD sebesar Rp 1,3 triliun lebih.
Anggota KPU Sulsel Marzuki Kadir mengatakan alokasi anggaran yang bersumber dari NPHD, telah direncanakan dan direalisasikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Menurut dia, nilai nominal dari anggaran yang tertuang dalam daftar NPHD 24 kabupaten kota yang disepakati bersama KPU sesuai dengan rasionalisasi untuk kebutuhan pilkada masing-masing daerah.
Marzuki mengatakan, penyelenggaraan Pilkada 2024 yang dilaksanakan pada November membuka peluang terjadinya sharing pembiayaan anggaran dari APBD. Dia juga menyampaikan untuk besaran biaya pelaksanaan Pemilihan 2024 disesuaikan dengan kemampuan APBD di masing-masing daerah. Hal ini juga yang dapat membuat biaya antar daerah bisa berbeda-beda. Kondisi geografis di suatu daerah dapat pula memengaruhi besarnya biaya seperti daerah kepulauan dan pegunungan.
"Dengan fakta demikian maka ke depan perlu adanya koordinasi antara KPU dengan pemerintah daerah untuk kelancaran pilkada serentak nanti," ujar dia.
Terlepas dari kebutuhan Pilkada. Marzuki menambahkaan, pihaknya sudah melakukan persiapan pada postur anggaran di Pilkada serentak untuk kegiatan nantinya. Ada namanya dana shering dimana ada dua pemahaman dalam sistem penyelenggaraan. Pertama dana shering full itu yang didanai oleh provinsi. Kedua ada dana kegiatan yang sama, dibiayai oleh Satker KPU daerah kab/kota. Alhamdulillah dana shering diturunkan kab/kota bisa sesuai harapan.
Ketua KPU Sulsel Hasbullah mengatakan, untuk pemilihan gubernur Sulsel sebesar Rp 387 miliar. "Total anggaran itu diestimasikan untuk kisaran enam pasangan calon. Rinciannya, empat usungan partai politik dan dua perseorangan," beber dia.
Total anggaran itu sudah disepakati dalam Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk Pilgub Sulsel telah disepakati oleh Pemprov, KPU dan Bawaslu Sulsel. KPU menerima Rp 154 miliar dan Bawaslu Sulsel Rp 69 miliar untuk tahap pertama.
Dia mengungkapkan anggaran Pilgub kini telah tersedia 40 persen dari total Rp 387.092.681.878. Selebihnya 60 persen masih dalam proses pencairan dari Pemprov ke KPU Sulsel.
Hasbullah menjelaskan, hitungan KPU Sulsel itu merujuk total 85 jumlah kursi di DPRD Sulsel. Meski bisa 5-6 pasangan calon jika terbagi rata, namun KPU Sulsel mengasumsikan alokasi kursi untuk mengusung sulit terbagi rata 17 kursi.
"Dengan perhitungan, untuk parpol 20 persen jumlah kursi, kalau terbagi rata sebenarnya bisa 5 (usungan parpol) tapi asumsi 20 persen biasa ada selisihnya makanya nilainya (anggaran) cuma 4 paslon yang dikasi masuk," jelas Hasbullah.
Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Ansyar menyampaikan Pemprov Sulsel terus mempersiapkan pencairan 60 persen dana Pilkada APBD 2024. Menurut dia, pihaknya Sulsel telah mencairkan dana Pilkada sebesar 40 persen ke KPU Sulsel.
“Jadi pasca NPHD itu sisa menunggu pencairan berdasarkan kesepakatan yaitu 40 persen dana pilkada yang diambil dari APBD 2023, dan 60 persen akan segera dicairkan pada APBD 2024,” ujar Ansyar.
Dia menyampaikan, pihaknya juga telah menerima permintaan dari penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu Sulsel untuk segera melakukan pencairan dana pilkada 60 persen. Menurut Ansyar, salah satu perintah Kemendagri adalah selambat-lambatnya mencairkan dana Pilkada 60 persen APBD 2024 pada 10 Juli 2024.
Ansyar mengatakan, perintah tersebut berlaku untuk semua pemerintah daerah se-Indonesia termasuk Pemprov dan Pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di Sulsel.
“Kemendagri itu memberikan pemerintah kepada pemerintah se-Indonesia untuk segera mencairkan dana Pilkada 60 persen,” imbuh dia.
Ansyar merinci, pencairan 60 persen dana pilkada masing-masing penyelenggara Pemilu yakni Bawaslu Rp 104 miliar lebih, KPU Sulsel Rp 232 miliar lebih. Adapun untuk pengamanan; Polda Sulsel Rp 77 miliar lebih dan Kodam Hasanuddin Rp 19 miliar lebih.
"Dana pengamanan itu dicairkan sekaligus," beber Ansyar.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Andi Ali Armunanto mengatakan demokrasi elektoral memang membutuhkan pendanaan yang besar karena disertai dengan berbagai mekanisme.
"Anggaran besar itu tentu reasonable (wajar) dalam pandangan saya, untuk mengakomodasi hampir 6 juta pemilih di Sulsel. Tentu butuh dana yang besar, sumber daya manusia yang besar, butuh peralatan yang banyak, mekanisme yang banyak sehingga membutuhkan dana yang banyak juga," ujar dia.
Namun di balik anggaran besar yang bersumber dari pajak masyarakat itu, Andi Ali, berharap nantinya bisa turut menciptakan pemimpin yang berkualitas pula, sebagaimana harapan masyarakat yang memilih.
"Tentunya harapan itu ada, kita mau memilih pemimpin yang kapabel, pemimpin yang bagus. Kita juga berharap pemilihan ini jauh dari kecurangan dan bisa berlangsung dengan damai dan aman," imbuh dia.
Hanya saja, untuk menciptakan semua itu, Andi Ali berharap anggaran yang begitu besar digunakan sebaik mungkin. Mengingat, kata dia, dalam segala hal potensi penyelewengan atau potensi korupsi itu pasti ada.
Potensi-potensi korupsi yang disebut bisa terjadi itu mulai dari pembiayaan pembuatan surat suara, honorarium penyelenggara, dan pembiayaan lainnya dalam proses pemilihan tersebut.
"Potensi (korupsi) itu selalu ada, jangankan pemilu yang dananya triliunan, parkiran saja pasti ada potensi untuk menyelewengkan anggaran yang hanya ratusan ribu tiap hari, apalagi ini miliaran dan prosesnya rumit.
Termasuk biaya cetak surat suara dan distribusi logistik itu bisa jadi permufakatan jahat, misalnya, ada yang coba mengatur atau menggelembung anggaran," kata Andi Ali.
Dengan begitu, Andi Ali mengatakan, penyelenggara dalam hal ini KPU dan Bawaslu transparan mengenai penggunaan anggaran yang diberikan pemerintah. Termasuk masyarakat juga diharapkan bisa melibatkan diri dalam melakukan pemantauan agar anggaran yang bersumber dari pajak itu tidak disalahgunakan.
"Ini memang perlu kita awasi bersama dan butuh transparansi oleh penyelenggara atau lembaga pelaksana pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Sehingga semua dana diberikan itu bisa dipertanggungjawabkan pengelolaannya, bukan hanya pada pemberian anggaran atau pemerintah tapi juga kepada masyarakat, supaya masyarakat juga tidak menimbulkan opini," tutur Andi Ali.
Senada dengan itu, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun menyebutkan, potensi korupsi atau penyelewengan anggaran Pilkada pasti ada. Bahkan dalam hal pengadaan di pemerintah atau proyek pembangunan sekalipun.
"Memang potensi korupsi anggaran Pilkada itu ada, bahkan juga untuk anggaran lain," kata Kadir.
Untuk itu, Kadir menyampaikan, agar anggaran tersebut tidak mubazir dan berujung pada masalah hukum, maka penyelenggaraan harus mempergunakannya sebagaimana yang telah ditentukan.
Selain itu, ia juga meminta agar penyelenggara, pemerintah, maupun lembaga-lembaga pengawas lainnya turut memantau pengelolaan anggaran tersebut agar digunakan sebagai mestinya dan tidak terjadi tindakan korupsi.
"Harapannya, yah, sesuai peruntukan, apa yang di peruntukan, misalnya untuk a untuk a, jangan digunakan untuk anggaran b dan lainnya. Peruntukan sesuatu dengan apa yang dianggarkan," kata Kadir.
"Kedua mungkin internal di KPU, mulai dari KPU pusat perlu mengatensi penggunaan anggaran tersebut. Baik pengawasan dari internal, juga pengawasan dari eksternal seperti masyarakat sipil," ujar dia. (suryadi-abu hamzah-isak pasa'buan/C)