Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan sebutan buat mereka yang terpelajar. Bahasa Indonesia menyebutnya dengan kata sarjana, ilmuan, dan intelektual. Sarjana adalah mereka yang lulus dari perguruan tinggi dan memperoleh gelar. Jumlahnya banyak karena perguruan tinggi atau universitas setiap tahun dua sampai tiga kali memproduksi sarjana.
Ilmuan adalah mereka yang mendalami ilmu, mengembangkan ilmunya, melalui pengamatan maupun analisisnya sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, hanya beberapa di antara mereka yang berkembang menjadi ilmuan. Sebagian besar di antara mereka larut dalam kegiatan rutin menjadi kalangan profesional.
Intelektual bukanlah sekadar sarjana yang hanya melewati bangku perguruan tinggi dengan memperoleh gelar. Mereka juga bukan hanya ilmuan yang mendalami ilmu dengan penalaran dan penelitian.
Mereka adalah orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, kemudian merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.
Al-Qur'an menyebut dengan istilah ulul albab, dalam tafsir terjemahan Kementerian Agama menyebut ulul albab dengan orang-orang yang berakal, atau orang yang berpikir. Sedangkan dalam terjemahan yang berbahasa Inggeris diartikan dengan istilah men of understanding, dan men of wisdom (orang yang memiliki pemahaman, dan memiliki kebijaksanaan).
Ulul Albab dalam istilah Alquran disebutkan: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan mengembangkan dengan seluruh tenaganya, sembari berkata, “Kami percaya ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,” dan tidak dapat peringatan seperti itu kecuali ulul albab. (QS. Ali Imran/3 : 7).
Membangun kesalehan intelektual dalam Islam bukanlah perkara sederhana. Ayat Al-Qur'an yang pertama kali turun adalah berupa perintah membaca. Yaitu membaca dengan atas nama Tuhan. Perbuatan membaca, meneliti, menganalisis, memahami dengan mengatas namakan Tuhan Yang Maha Mulia, Yang Maha Benar, Yang Maha Adil dan sifat-sifat mulia yang lain, yang dilakukan secara benar, obyektif, sungguh-sungguh, maka itulah yang disebut dengan saleh intelektual.
Orang yang telah meraih kesalehan intelektual akan menjadi kaya ilmu. Para ulama terdahulu, apa pun bidang keilmuan yang ditekuni, mereka itu adalah orang yang telah meraih kesalehan intelektual. Mereka itu berhasil melahirkan karya-karya besar di berbagai cabang ilmu pengetahuan. Nama mereka menjadi sedemikian harum, karena buah pikiran dan karya-karyanya dipelajari atau dikaji dari generasi ke generasi di berbagai kalangan yang luas.
Kesalehan intelektual dipandang lebih penting daripada kesalehan ritual dan bahkan juga kesalehan sosial. Sebab kesalehan intelektual dianggap sebagai pintu untuk memasuki kesalehan lainnya. Al-Qur'an sendiri juga menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat lebih tinggi.
Sedemikian mulianya orang-orang yang telah meraih kesalehan intelektual, sehingga disebut tinta para ulama lebih mulia dan berharga dari pada darah para syuhada.
Munculnya berbagai macam lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi Islam di mana-mana adalah sebagai upaya untuk membangun atau mengantarkan orang-orang agar berhasil meraih kesalehan intelektual. Namun kesalehan intelektual yang dimaksudkan itu adalah kesalehan yang didasari oleh keimanan. Hal itu dapat dipahami dari kalimat perintah membaca hendaknya dilakukan atas nama Tuhan dan bukan sembarang membaca.
Atas dasar pemahaman seperti itu, mestinya umat Islam di mana-mana, selain membangun kesalehan ritual dan kesalehan sosial, harus menyempurnakan dengan membangun kesalehan intelektual. Umat Islam tidak selayaknya merasa ber-Islam secara kokoh dan sempurna, jika baru berhasil membangun kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Umat Islam selama ini menjadi lemah, disebabkan oleh karena mereka gagal dalam membangun pilar-pilar kesalehan intelektual. (*)