Oleh: Anis Kurniawan
(Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas)
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Percaya atau tidak, demokrasi yang semakin liberal memberi angin segar pada “informal politik”. Apa itu? Kelompok-kelompok terorganisir di luar negara yang kuat dan berpengaruh. Pengaruhnya tidak saja pada kekuasaan formal, tetapi juga di akar rumput.
Mereka ini boleh jadi dianggap bedebah, kelompok kepentingan, atau mungkin gerakan sipil yang terkonsolidasi. Pasca-reformasi, kekuatan “informal politik” layak direken.
Kehadirannya sangat fragmentatif. Dari yang skalanya besar hingga yang sekadar simpul kecil bahkan personal. Dari kelompok yang punya basis histroris kental dan beririsan dengan organisasi masyarakat tertentu hingga yang muncul sporadis namun didukung oleh modalitas ekonomi politik bahkan kultural.
Kepiawaian kelompok ini tidak saja sebagai penggerak dengan daya jelajah super kencang. Mereka juga menjadi penghubung (intermediary) antara simpul-simpul warga, komunitas dengan aktor politik bahkan dengan sesama simpul “informal politik” lainnya.
Mereka adalah penanda suatu kekuatan. Kemampuannya dalam merangkul akar rumput sebagai basis pendukung sangat khas. Sangat diandalkan.
Setidaknya ada dua bentuk pergerakannya. Pertama, mengandalkan kekuatan fisik dan simbol-simbol tertentu yang melabelkan diri sebagai kekuatan massa pelindung. Kedua, mengandalkan ketokohan sosok tertentu yang secara kultural berpengaruh dalam masyarakat.
Di level akar rumput, bersinggungan dengan kelompok “informal politik” boleh jadi positif adanya. Mereka dibutuhkan dan acapkali dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan taktis dalam masyarakat. Meski demikian, kehadiran mereka disadari membawa konsekuensi politik jelang Pemilu atau Pemilukada.
“Informal politik” menjelma sebagai patronase baru yang lebih cerdas dan terkonsolidasi. Mereka punya relasi sangat kuat dengan simpul-simpul kecil di bawahnya. Tokoh masyarakat atau kelompok-kelompok kepentingan di akar rumput.
Jelang musim pemilihan, mereka akan berdatangan sebagai perantara antara akar rumput dengan kandidat yang bertarung. Mereka adalah kelompok kepentingan yang potensial mengambil keuntungan besar dari demokrasi yang sangat pragmatis seperti saat ini.
Fragmentasi di Akar Rumput
Di kota-kota besar seperti Makassar, kelompok ini sangat menonjol adanya. Mereka bermunculan jelang kontestasi. Beberapa diantaranya telah muncul sebagai gerbong pada kandidat tertentu, beberapa lainnya mungkin masih menunggu saat tepat. Mereka mengamati dan meramaikan geliat demokrasi melalui kanal-kanal perjumpaan, baik di warung kopi maupun di sosial media.
Fenomena “informal politik” sejatinya adalah geliat dari akar rumput yang ingin melibatkan dirinya pada pusaran politik praktis. Sebagian didasari atas kesadaran bahwa politik membuka peluang untuk merebut kepentingan-kepentingan taktis dan sesaat.
Sebagian lagi muncul atas kesadaran bahwa politik adalah jalan kebaikan. Setidaknya untuk menjaga kemaslahatan kelompok terkecil yang diperjuangkan (basis keluarga dan kelompoknya).
Bila terkonsolidasi dengan baik, fenomena ini sebetulnya bisa berguna bagi kualitas demokrasi. Mereka muncul sebagai agen-agen komunikasi politik. Kejeliannya merespons perkembangan dan dinamika politik memantik partisipasi publik untuk terlibat aktif.
Demokrasi subtantif memang perlu dibangun dari tradisi warganya yang “melek” politik. Yang pada level berikutnya akan menjadi warga yang “melek” informasi. Dengan begitu, kita dapat merayakan kontestasi politik bersama warga masyarakat yang memiliki preferensi politik yang kuat. Hanya saja, kehadiran “informal politik” akan menyeret demokrasi pada ongkos yang semakin besar.
Tidak gampang menundukkan kelompok patronase gaya baru ini. Perlu amunisi besar untuk menjaganya. Bagi para kandidat, bersiaplah membuat semacam mapping khusus tentang kelompok “infomal politik”. Keberadannya nyata. Mereka bersentuhan erat dengan basis pemilih.
Satu-satunya hal yang menaklukkan mereka adalah kualitas dan kapasitas kandidat. Kualitas disini antara lain bisa gagasan, track record dan visi politik. Sedangkan kapasitas boleh jadi soal sumber daya atau amunisi seorang kandidat.
Betapa pun, mereka perlu diyakinkan. Keberpihakannya seringkali pada kandidat yang sukses merampas prasangka publik sebagai kandidat yang potensial menang. Jangan lupa, mereka sangat jeli menilai dan mengambil keputusan dalam suatu kontestasi.
Para kandidat perlu menemukan gejolak arus bawah ini secara lengkap untuk memastikan strategi politiknya dapat mengantarnya sebagai pemenang—bukan sekadar pelengkap kontestasi. (*)