Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam sebulan terakhir, isu tambang menyeruak dalam diskursus perbincangan media dan kanal-kanal diskusi. Yah, di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, dia memberi peluang pada ormas untuk ikutan sebagai pemain tambang.
Ide ini memancing perdebatan dan pro-kontra. Satu pihak membenarkan, pihak lain sangat menyayangkan. Namun, apa boleh buat, “semua akan menambang pada akhirnya!” Kira-kira begitu narasi yang tersimpulkan. Siapa yang menambang dan siapa yang anti-tambang tidaklah penting. Bukan di sini poinnya! Lalu apa di baliknya?
Kemegahan sumber daya alam Indonesia memang bukan sekadar cerita pada dongeng dan lagu-lagu kenangan. Ia nyata dan bergelimang di mana-mana. Mungkin tidak jauh dari rumah kita, di kampung halaman kita yang dulunya bukan apa-apa. Lihat saja, sudah beberapa kampung di negeri kita yang warganya terkejut saat mendadak ekskavator muncul di desanya lantaran ditemukan potensi mineral.
Tambang mengubah konstelasi ekonomi-sosial dan ekologi pada beberapa daerah di Maluku, Sulawesi, hingga Kalimantan. Dalam beberapa tahun saja, tambang merebak di sana-sini. Namun, seiring dengan itu, apakah warga bangsa sejahtera? Tampaknya tidak! Lebih tepatnya, belum. Faktanya, pertumbuhan ekonomi memang meningkat seperti di Maluku Utara namun belum sepenuhnya membuat warganya sejahtera dan berkeadilan.
Inilah dilema sebuah bangsa dengan sumber daya melimpah tetapi kendali kekuasaan politik ada di tangan oligarki. Tambang dikuasai segelintir elit ekonomi dan warga bangsa hanyalah penonton yang sekalipun terlibat, sejatinya hanya mendapatkan bagian—sekadarnya.
Para penjajah sejak ratusan tahun silam mengendus kekayaan alam Nusantara ini dan menyebutnya sebagai “a string of emeralds on the equator (untaian manikam di Khatulistiwa)”. Wajarlah bila Nusantara diperebutkan sejak dulu dan kini menjadi pusat perhatian dunia. Pada perut bumi ibu pertiwi tersimpan kekayaan yang menggiurkan bagi kaum kapitalis.
Kini, bayang-bayang kapitalis telah mewarnai pembangunan Indonesia. Kelimpahan sumber daya alam Indonesia adalah peluang emas di tengah impian menuju Indonesia Emas 2045.
Tetapi, di satu sisi akan menjadi ancaman serius bila tidak terkelola dengan baik. Sumber daya alam yang melimpah ini justru akan membuat warganya semakin miskin, terbelakang dengan kesenjangan sosial yang mengaga. Jeffrey D Sachs menyebut kondisi ini sebagai “the curse of natural resources” alias “kutukan sumber daya”. Tampaknya, Indonesia berada pada premis ini, melimpah sumber daya tapi tidak bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Kutukan sumber daya terjadi antara lain karena tata kelola dan demokrasi yang tidak stabil. Demokrasi yang dikuasai segelintir elit dipastikan akan berdampak pada sesat kelola sumber daya alam. Dengan demikian, kehebohan isu tambang jelang transisi kepemimpinan nasional dan Pilkada serentak 2024 bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan.
Ini suatu diskursus yang memiliki relevansi erat. Publik tentu masih ingat narasi politik capres terpilih Prabowo Subianto dalam dua kali perlawanannya kepada Presiden Jokowi. Prabowo sejak lama mengkritik adanya kebocoran sumber daya alam kita. Ia bahkan, meyakini sepenuhnya bahwa tugas penting dalam kepemimpinan nasional adalah mencegah agar kebocoran tidak terjadi.
Jelang pelantikan presiden pada Oktober 2024 ini, publik menantikan langkah politik pemerintahan baru menyikapi tata kelola sumber daya khususnya di sektor pertambangan dan isu pengelolaan sumber daya alam lainnya. Apakah presiden terpilih akan melanjutkan tren pemerintahan sebelumnya yang tampaknya permisif terhadap investasi dan pertambangan secara massal, atau justru sebaliknya. Menarik menantikan ini. Apa mungkin ada “political will” yang begitu kuat untuk melihat kembali atau menata ulang pengelolaan sumber daya alam?
Di saat bersamaan, para penambang kini membayangi di balik jendela pilkada. Mereka mengintai daerah-daerah potensial dan tentu bersiaga menjadi “pemodal” para kontestan. Para penambang berjaga-jaga di balik kursi kekuasaan. Lalu, kita bisa apa?
Jorge Luis Borges dalam bukunya yang fenomenal berjudul "Historia de la Avergüenza" (2000), dalam bahasa: “Sejarah Aib” mengingatkan kita betapa pentingnya menyadari fakta-fakta yang terjadi di balik peristiwa-peritiswa politik dan kekuasaan.
Kata Borges, sejarah tidak melulu soal apa yang diingat, namun juga perihal apa yang dilupakan—bahkan secara sengaja diputarbalikkan. Kita tunggu saja, apakah demokrasi yang sedang dalam kepungan penambang akan melahirkan pejuang atau pecundang?
Dalam kacamata ekologi, pertambangan cenderung eksploitatif. Karenanya, ia adalah jalan pintas mempercepat kerusakan lingkungan dan hanya sekadar memperkaya para pemodal. Begitulah cara kerja orang serakah kata Mahatma Gandhi: "Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah". (*)