MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan kepala daerah serentak membuat partai politik akan saling bersinggungan untuk mendukung para jagoannya. Pun, banyak yang pula yang memilih berkoalisi dalam memenangkan pasangan calon yang diusung. Partai NasDem dan Partai Golkar, misalnya, hampir pasti akan saling sokong memenangkan pemilihan gubernur (pilgub) Sulawesi Selatan. Namun, tidak untuk pemilihan bupati (pilbup). Dukungan dua partai besar di Sulsel ini tidak linear sehingga akan menjadi rival yang sengit.
Dukungan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto kepada pasangan Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi di Pilgub Sulsel kian mendekatkan koalisi dengan Partai NasDem sebagai pengusung utama pasangan ini. Dengan begitu, dua partai yang berseberangan para pemilihan presiden lalu akan bersama-sama di tingkat provinsi.
Meski begitu, dukungan di Pilgub Sulsel bertolak belakang dengan sejumlah daerah. NasDem-Golkar akan berhadap-hadapan di Kota Makassar, Barru, Palopo, Luwu, Kota Parepare, Pinrang, Bantaeng, Luwu Timur, dan Enrekang.
Sekretaris Partai Golkar Sulsel Andi Marzuki Wadeng menyatakan perbedaan dukungan di pilgub dan pilkada merupakan dinamika politik yang wajar. Menurut dia, setiap partai politik pasti memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda.
"Tidak bisa juga dipaksakan untuk berkoalisi di semua daerah. Pasti ada yang tidak linear dengan pilgub," kata Marzuki, Kamis (8/8/2024).
Menurut dia, kader dan pengurus di daerah sudah paham dan mengerti mengenai perbedaan dukungan pada pilkada serentak, kali ini. Marzuki mengatakan, mereka punya strategi masing-masing dalam memenangkan kandidat yang dijagokan baik di pilgub maupun pilkada.
"Mereka punya cara sendiri yang akan ditempuh. Mengalir saja hingga pemilihan berlangsung nanti," kata Marzuki.
Mengenai dukungan Golkar kepada Sudirman-Fatmawati, menurut Marzuki, sampai saat ini belum mendengar adanya reaksi dari pengurus dan kader di daerah. Dia memastikan, pengurus tak akan menolak keputusan DPP dan akan solid mendukung calon yang diusung.
"Saya kira seluruh kader paham apa yang menjadi putusan DPP. Insyaallah semua akan solid terhadap putusan itu," imbuh dia.
Adapun, Sekretaris Golkar Kota Makassar, Abdul Wahab Tahir mengatakan akan tunduk dan patuh atas putusan DPP demi mengusung Andi Sudirman-Fatmawati. “Sebagai kader pasti kami akan tunduk dan patuh dan akan menjalankan perintah partai,” kata dia.
Menyangkut perbedaan usungan NasDem dan Golkar di Pilwali Makassar, anggota DPRD Makassar ini hanya menyebutkan pihaknya akan menyiapkan strategi khusus untuk bisa memenangkan kandidat yang diusung.
“Soal bagaimana strateginya akan kami bicarakan di internal partai. Pasti ada cara untuk bisa menang keduanya,” ujar dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Media Partai NasDem Sulsel, Mustaqim Musma mengatakan adanya perbedaan jagoan di Pilgub dan pilbup harus diterima sebagai realitas. Menurut dia, setiap tingkatan berbeda-beda kondisi politiknya.
"Ada kalanya bersanding, ada kalanya bertanding," kata dia.
Mustaqim mengatakan, kedua partai akan berupaya keras untuk memenangkan pertarungan baik di pilgub maupun di pilbup dengan menerapkan strategi masing-masing.
Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah mengatakan melihat ada pengurus di daerah yang menginginkan berkoalisi di pilgub dan pilbup, tapi realitanya tidak bisa karena ada juga kepentingan elite partai di DPP.
"Partai ini cukup cair dan dinamis sehingga banyak pertimbangan yang harus mereka gunakan. Seperti potensi menang atau pertimbangan relasi yang ada di daerah hingga kedekatan ketua partai dengan kandidat," ujar Asratillah.
Menurut dia, Dengan perbedaan usungan di pilgub dan pilbup, kader Parpol harus mencari ide-ide agar masyarakat bisa memilih jagoan mereka. Karena realita di lapangan masyarakat lebih condong memilih calon bupati-wakil bupati ketimbang Gubernur.
"Dalam konteks pilkada, biasanya masyarakat lebih memilih paling kecil dalam hal ini kepala daerah. Jadi perhatian masyarakat lebih condong ke pemimpin daerahnya ketimbang tingkat provinsi," kata dia.
"Jadi tim yang paling repot ini yang mensosialisasikan kandidat di pemilihan gubernur. Bagus kalau koalisi di pilgub sama dengan di pilbup. Kalau berbeda mereka harus mencari formula baru yang efektif," ujar dia.
Asratillah mengatakan, kader partai harus mencari relawan yang cocok mensosialisasikan jagoan mereka di pilgub dan pilbup. "Jadi harus memperbanyak jejaring di luar kader parpol," imbuh Asratillah.
Sedangkan, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Andi Ali Armunanto, mengatakan perbedaan koalisi antara pilgub dan pilbup merupakan hal yang lumrah dalam politik. Menurut dia, arena kontestasi di setiap tingkatan memiliki suasana dan kepentingan yang berbeda, sehingga skema politik yang terbentuk pun turut berbeda.
"Tiap arena kontestasi itu berbeda-beda, baik di pilgub maupun pilwali, maupun pilbup. Tidak bisa hantam rata. Kalau mereka berlawanan di pilpres, tidak berarti harus berlawanan di pilkada. Kepentingannya berbeda, begitu juga polarisasi politiknya," ujar Andi Ali.
Dia menjelaskan bahwa di pilpres, NasDem berlawanan dengan Golkar. Namun, dalam pilgub, mereka justru akan berkoalisi mendukung pasangan Sudirman-Fatma dikarenakan adanya kepentingan bersama. Sementara itu, di beberapa daerah seperti Makassar, Barru, Palopo, Luwu, Parepare, Pinrang, Bantaeng, Luwu Timur, dan Enrekang, kedua partai ini bersaing ketat dalam Pilkada.
"Di Pilgub mereka berkawan, tapi di pilbup bisa saja berlawanan. Namun, ini tidak berarti ada konflik besar. Masing-masing partai bekerja sesuai konteksnya," lanjut dia.
Andi Ali juga mengungkapkan bahwa meskipun kedua partai ini bertarung di pilkada, mereka bisa saja tetap mendukung calon gubernur yang sama. Misalnya, jika dalam pilkada ada calon yang mengkampanyekan Sudirman-Fatma sebagai calon gubernur, meski lawannya juga dari Golkar atau NasDem.
Menurut Andi Ali, perbedaan kepentingan ini tidak mengganggu konsolidasi politik di tingkat pilgub. Justru, hal ini bisa memudahkan koordinasi politik pasca pilkada.
"Dana kampanye atau operasi tim sukses di pilgub berbeda dengan pilbup. Bisa saja dua-duanya mendapat dukungan, selama sama-sama mendukung Sudirman-Fatma sebagai calon gubernur," jelasnya.
Andi Ali menekankan bahwa perbedaan koalisi di tingkat lokal dan provinsi ini adalah bagian dari dinamika politik yang wajar, dan tidak perlu dianggap sebagai konflik antar partai. Sebaliknya, hal ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptasi partai-partai dalam menghadapi berbagai arena politik yang berbeda.
"Kecuali memang kalau calon bupatinya itu dari PKB, misalnya, mereka harus mengkampayekan Azhar Arsyad, kan, tidak etis juga kalau dananya Sudirman-Fatma lari ke Azhar, atau sebaliknya. Tapi kalau Golkar-NasDem ya itu, kan, dibiayai dua-duanya, tidak ada masalah," imbuh dia.
Reaksi Pilihan Golkar
Sementara itu, Ketua Golkar Sulsel Taufan Pawe mengatakan keputusan Airlangga mendukung Sudirman-Fatmawati merupakan keputusan terbaik untuk masyarakat Sulsel.
"Jadi saya berpendapat keputusan itulah yang terbaik. Pasti kader Golkar di 24 kabupaten dan kota akan mendukung," ujar Taufan.
Adapun, Fatmawati mengklaim telah mendapatkan dukungan 56 kursi dari 7 partai politik pemilik kursi di DPRD Sulsel. Tujuh partai tersebut, yakni, NasDem (17 kursi), Golkar (14 kursi), Gerindra (13 kursi), Demokrat (7 kursi), PAN (4 kursi) Hanura (1 kursi) dan PSI (tanpa kursi). Sementara PKS (7 kursi) di sebut sebut akan menyusul.
Fatmawati mengatakan, tujuh partai tersebut sudah pasti menjadi pengusung di Pilgub Sulsel. Dia menyebut, koalisi pengusung itu merupakan turunan dari pengusung gabungan pada pilpres lalu.
"Ini bagian dari kekuatan dan semakin memantapkan langkah kami," kata dia.
Sementara itu, kader senior Golkar, Asdar Tukan menyatakan kekecewaan atas keputusan Golkar mengusung figur eksternal partai. Atas keputusan DPP Golkar, Asdar mengaku tak akan mendukung.
"Sangat disayang Golkar buang kader sendiri. Jadi, saya lebih memilih kandidat lain dan siap berjuang untuk memenangkannya," kata Asdar.
Sebelumnya, politikus senior Partai Golkar, H.M. Roem mengaku sedih melihat kenyataan bahwa Golkar sepertinya hanya akan menjadi penonton di Pilgub 2024.
"Situasi ini seharusnya tidak terjadi. Alasannya, Golkar merupakan partai politik dengan segudang kader berpengalaman dan berprestasi," kata dia.
Mantan Ketua DPRD Sulsel itu mengatakan, DPP Golkar menutup mata pada situasi yang tidak lazim ini. Bagi Roem, jika hal tersebut dibiarkan Golkar bisa mengalami kehancuran di Sulsel.
"Kader Golkar jumlahnya sangat banyak. Bukan kebiasaan kita mengabaikan kader yang sudah berdarah-darah bekerja membesarkan partai, apalagi yang memang punya kemampuan," imbuh Roem.
Dia mengatakan, memilih figur dari luar partai untuk diusung di pilgub atau pilkada lainnya saat masih banyak kader internal yang layak, terasa sangat menyakitkan. "Terus terang, saya sedih melihat kondisi yang sekarang," ucap dia.
Roem yang sudah aktif di Golkar sejak tahun 1975 mengatakan, jika Golkar benar-benar tidak mendorong kadernya untuk bertarung di Pilgub kali ini, itu sama saja memberikan panggung mereka ke orang lain.
"Tidak mungkin bisa menemukan penjelasan rasional atas kondisi ini. Kecuali bahwa ada segelintir pihak di internal Golkar yang sudah tidak berpijak pada aturan dan prinsip partai," ujar Roem.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Hasrullah mengatakan, sikap Partai Golkar akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat kepada Beringin.
"Kalau Golkar lebih memilih orang lain ketimbang kader partai itu tentunya akan lahir ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai ini," ujar Hasrullah.
Dia mengatakan, selama ini beberapa kader terbaik partai Golkar telah bekerja maksimal untuk untuk meningkatkan elektabilitas mereka sesuai surat tugas. Salah satunya, menaikan elektabilitas kemudian dilakukan survei.
"Kan, mereka telah berupaya bekerja keras semaksimal mungkin, seperti IAS dan Indah. Itu atas perintah partai usai menerima surat tugas dari DPP Golkar," imbuh dia.
Bahkan, katanya, bila DPP Partai Golkar nantinya lebih memilih Sudirman-Fatma, hal itu dapat mencederai rasa kepercayaan kader dan simpatisan partai Golkar di Sulsel. Kader dan pengurus Golkar di Sulsel yang selama ini sangat mempercayai pemimpinnya dan telah membesarkan partai ternyata diabaikan oleh para elite-nya.
"Pilihan elite partai akan menimbulkan kekecewaan dan kemungkinan pengurus ataupun kader dan simpatisan tidak akan memilih pilihan elite tersebut," kata dia.
Hasrullah mengatakan, Sudirman-Fatmawati sangat jauh dari sisi kualitas dan kapasitas dibanding kader internal Partai Golkar yang ada. Menurut dia, pilihan DPP Golkar itu, akan menjadi kiamat besar bagi Golkar di Sulsel.
"Sulsel itu lumbung suara Golkar, sementara Sudirman-Fatma itu bukan kader Golkar. Apakah mereka nantinya memperhatikan partai ini, saya rasa tidak," imbuh Hasrullah.
Relawan Siap Bergerak
Panglima Dozer, Rully Rozano mengatakan saat ini sudah mulai mempersiapkan strategi untuk memenangkan pasangan Sudirman-Fatmawati. Menurut dia, struktur pemenangan telah lengkap mulai dari tingkat provinsi hingga ke tingkat RT/RW.
"Kami juga menyiapkan saksi di setiap TPS dengan total 99 ribu lebih orang," kata dia.
Dia memastikan bisa membawa kemenangan bagi Sudirman-Fatma di seluruh kabupaten dan kota. Dirinya menyebutkan Tim Dozer memiliki tugas masing-masing.
"Jadi pergerakan kami sudah terukur sehingga untuk menggaet suara lebih banyak bukan hal yang sulit lagi," sesumbar Rully.
Tim Dozer sangat optimis Sudirman-Fatma bisa memenangkan pertarungan di Pilgub Sulsel tanpa hambatan.
Tim Dozer merupakan salah satu tim yang mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres lalu. Tim Dozer mempunyai relawan yang mencapai ratusan ribu orang di Sulsel. Tim Dozer dengan tagline 'Tradisi Juara' itu bekerja untuk wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Kalimantan Selatan (Kalsel).
Tim Dozer pada tahun 2018 lalu yang juga ikut membantu memenangkan pasangan Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman. Saat itu, Prof Andalan berhasil meraup 1.867.303 suara. (fahrullah-isak pasa'buan/C)