MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap Briptu Sanjaya, oknum anggota polisi yang dilaporkan karena melakukan pelecehan seksual terhadap seorang tahanan perempuan yang mendekam di Rutan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Sulsel.
LBH Makassar selaku tim kuasa korban inisial FM dalam keterangan tertulisnya menyatakan vonis tersebut sangat jauh dari tuntunan sehingga pihaknya mendesak kejaksaan untuk banding atas putusan Briptu Sanjaya.
Hakim menyatakan Briptu Sanjaya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 huruf c Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sehingga atas perbuatan mesumnya itu, sebagaimana dalam nomor perkara 709/Pid.Sus/2024/PN Mks, Briptu Sanjaya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp10 juta atau subsider 2 bulan penjara.
Mirayati Amin, selaku Penasehat Hukum FM menyebut hukuman atau vonis Briptu Sanjaya jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yang menuntut terdakwa 10 tahun penjara.
Atas putusan itulah, Mirayati atau LBH Makassar selaku Tim Penasehat Hukum korban menilai vonis yang diberikan tidak merepresentasikan sistem peradilan yang adil terhadap korban kekerasan seksual. Menurutnya, hakim gagal melihat pola kekerasan berulang yang dialami korban, serta relasi kuasa antara pelaku dan korban.
“Sepatutnya, dengan adanya keterangan korban ditambah 2 orang saksi lainnya yang dihadirkan dalam ruang sidang, Majelis Hakim bisa dengan menemukan pola kekerasan yang dilakukan pelaku, sehingga mengakibatkan korban mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali dengan bentuk kekerasan seksual yang berbeda,” ungkap Mirayati dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/9/2024).
Mirayati menjelaskan, relasi kuasa dalam kasus ini menimbulkan situasi rentan dan tidak setara, tidak hanya antara pelaku dan korban, tapi berlaku juga bagi tahanan dan aparat kepolisian secara umum. Kata dia, hal ini bisa dilihat dari adanya intimidasi yang diterima korban sejak awal dia mendapatkan tindak pelecehan.
"Dalam proses pemeriksaan lainnya, kita bahkan bisa mendengar bagaimana relasi kuasa antara korban yang berstatus tahanan dan pelaku yang merupakan aparat kepolisian, ikut menjadi penyumbang kejahatan pelaku,” sebutnya.
Bahkan, kata Mirayati, ketika korban mulai berani melaporkan pelaku ke Direktur Dit Tahti Polda Sulsel, kemudian berlanjut ke Propam Polda Sulsel, intimidasi tidak berhenti terhadap FM yang juga sempat membuatnya berniat tidak melanjutkan kasusnya dikarenakan takut proses hukum yang dia jalani akan dipersulit.