Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Acara televisi tanah air dalam beberapa hari ini disesaki tayangan debat pasangan calon (paslon) kepala daerah jelang Pilkada Serentak 27 November 2024. Setidaknya ada lebih dari empat saluran televisi lokal maupun nasional secara bergantian menyiarkan debat calon. Mengacu pada regulasi, rerata, dua sesi debat kandidat digelar KPUD di kabupaten/kota maupun provinsi sebelum memasuki kampanye terbuka, masa tenang, hingga pencoblosan.
Jika waktunya pas, saya menonton langsung. Selebihnya, saya simak via kanal Youtube. Dari semua pertunjukan debat, hanya ada sedikit saja yang sungguh berkualitas. Dalam arti, mementaskan kualitas kandidat dari segi visi dan pola komunikasi.
Selebihnya, terus terang teramat “menyedihkan”. Mengecewakan!
Karenanya saya dilanda kegamangan setiap kali menyimak sesi debat. Belum lagi adanya hal-hal teknis yang acapkali mengganggu suasana debat. Kesalahan kecil moderator, misalnya, atau riuh tak terkendali dari dalam ruangan debat. Hingga ke hal-hal teknis lainnya seperti pengeras suara yang mengalami gangguan dan lainnya.
Semua menggambarkan, betapa debat kandidat tidak sepenuhnya nyaman sebagai tontonan berkualitas. Di beberapa daerah, debat berlangsung ricuh karena determinasi massa yang tidak terkendali.
Lebih disayangkan lagi, sebab tidak sedikit kandidat yang memberi jawaban alakadarnya. Atau menjawab dengan nada terbata-bata layaknya seorang yang sedang wawancara lamaran pekerjaan. Pendeknya, tidak sedikit paslon yang kelihatannya tidak siap ikut debat dan tampil di layar televisi. Ketidaksiapan itu tergambar apik saat Paslon menjawab pertanyaan bahkan di sesi pembuka penjabaran visi misi.
Tak jarang, mata saya bekernyit mendengarkan paslon berbicara yang seolah tidak paham konteks persoalan daerahnya. Bahkan untuk sekadar menyusun kata-kata yang tepat, mereka kesulitan. Bayangkan saja, ada kandidat yang kesulitan untuk sekadar menyusun pertanyaan pada paslon lainnya. Mati bale!
Apa yang salah? Persiapan debat dan penguasaan materi yang tidak berjalan atau karena memang kualitas personal kandidat. Saya yakin seratus persen, semua paslon membuat sesi persiapan bahkan coaching setidaknya dua-tiga hari sebelum debat. Ini penting agar kandidat tampil prima setidaknya dapat memuaskan hati pemirsa dan voters yang menonton. Faktanya, pemilih menunggu momen-momen debat kandidat untuk melihat langsung performa kandidat.
Para paslon tentu harus menyadari bahwa penampilannya di sesi debat sedikit banyaknya mempertaruhkan kualitas berpikirnya, keluasan wawasan dan kedalaman kecerdasannya. Bahkan merepresentasikan karakter personal kandidat. Bahkan, berpeluang dapat memengaruhi peta elektabilitas. Bagi segelintir pemilih cerdas dan swing voters, penampilan Paslon saat debat cukup membuatnya punya variabel memilih.
Terlepas dari penguasaan topik debat dan lanskap persoalan daerah, paslon juga harus bisa menguasai panggung. Menyampaikan pikiran-pikiran dengan efisien, namun tetap menarik untuk disimak.
Hanya dengan begitu, debat kandidat akan tersaji sebagai fase penting dan menentukan elektabilitas kandidat—tidak sekadar sebagai panggung formalitas belaka. Apapun hasilnya, rekam jejak para Paslon berbicara dan mengadu gagasan di sesi debat telah tersimpan apik secara digital. Sewaktu-waktu, voters dapat membuka kembali tayangan di Youtube untuk mengafirmasi kualitas dan janji kanidat.
Merefleksi Sesi Debat
Ke depan, tampaknya perlu mengevaluasi format debat paslon untuk pilkada lebih berkualitas. Para penyelenggara dari pusat hingga daerah perlu memikirkan skema baru yang lebih baik dan memungkinkan sesi debat sungguh-sungguh menjadi panggung menarik.
Jika perlu, dibuat suatu sesi debat dengan tema terfokus.
Penyelenggara mungkin dapat menambah porsi sesi debat menjadi empat atau lima kali. Tema debat yang berbeda-beda dapat dirumuskan oleh panelis dengan baik. Dengan begitu, penunjukkan panelis sungguh-sungguh harus merepresentasi pemahaman konteks dan problematika suatu daerah. Tidak seperti saat ini, di beberapa daerah, tampaknya keberadaan panelis tidak cukup kuat untuk mengelaborasi isu-isu terfokus dan relevan.
Panggung debat harus ditempatkan sama pentingnya dengan sesi kampanye terbuka, karena inilah pentas pertunjukan mengenai kapasitas kandidat. Publik perlu mendengarkan lebih dalam, tidak sekadar garis besar visi misi dan program. Tetapi lebih ‘deep’ lagi pada mapping masalah daerah dan langkah strategis.
Bayangkan kalau debat terpola dibuat dengan tema-tema beragam, tergantung permasalahan di daerah. Kandidat akan lebih banyak perang data dan argumentasi. Juga memunculkan aksi-aksi keberhasilan yang telah dikerjakan.
Publik sisa mengafirmasi di lapangan. Jadi, ada dua hal yang bisa didapatkan oleh voters, pertama soal kualitas intelektual, kedua soal kecakapan mengelola masalah dan kompleksitas di lapangan. Selebihnya, publik juga dapat mengukur kredibilitas dan moralitas kandidat. Apakah sekadar omong besar dan retorika belaka atau karena memang memiliki basis pengalaman serta rekam jejak prestisius. Ini mungkin proyek ke depannya, pada pilkada serentak di lima tahun mendatang.
Untuk sesi ini, voters masih punya kesempatan untuk mengulik dan mengidentifikasi kembali kualitas kandidat. Tidak sulit sejatinya, karena data-data berkelimpahan. Apa yang disampaikan kandidat dapat dikaitkan dengan realitas lapangan. Publik tentu bisa membedakan mana kandidat yang sekadar ambisius dan bombastis dalam kata-kata, mana yang sungguh-sungguh bicara berdasar fakta dan pengalaman.
Detik-detik menentukan jelang pemilihan, tak ada salahnya bagi pemilih memutar kembali tayangan debat. Silakan menilai sendiri dan membandingkan dengan jejak personal kandidat, kepemimpinan, dan capaiannya. (*)