"Memang persoalannya ini adalah hal yang susah untuk dideteksi karena juga misalnya tidak ada laporan dan bahwa kalau diverifikasi ke Gakkumdu kebanyakan menyangkal informasi-informasi tersebut, sehingga memang anga membingungkan ketika kita berbicara. Untuk itu kita kembali lagi, harus di lawan dengan gerakan rakyat," sambungnya.
Terakhir, Ali kembali menjelaskan kenapa posisi TNI, Polri, maupun birokrasi atau ASN sangat berpengaruh dan menguntungkan jika digunakan sebagai alat dalam politik karena hampir semua kerja-kerja mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat, utamanya masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Bahkan skala birokrasi saja disebut bisa saja melakukan intervensi hingga ke RT/RW dalam momentum Pilkada ini untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pengerahan TNI dan Polri dalam politik praktis disebut pernah dilakukan di era Orde Baru. Dimana saat itu Parti Golkar unggul telak hingga 70 persen dari partai-partai lainnya saat ini dikarenakan adanya pergerakan TNI dan Polri. Sehingga jika pola tersebut kembali dimainkan oleh para calon kepala daerah yang memiliki akses terhadap TNI dan Polri maka dipastikan akan sama menguntungkan dan bisa memenangkan pertarungan.
"Sama birokrasi, juga kan sampai RT/RW punya otoritas untuk membolisasi (massa). Jadi ini yang bahaya kalau otoritas ini (TNI/Polri dan ASN) dimanfaatkan untuk memenangkan seseorang tentu akan sangat efektif sekali, makanya banyak yang tertarik untuk melakukan karena ini memang alat yang efektif untuk membolisasi masyarakat," pungkasnya. (Isak/B)