OPINI: Presidential Treshold dan Insyafnya Mahkamah Konstitusi

  • Bagikan
Oleh: Wiwin Suwandi (Praktisi Hukum)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Teori hukum responsif terbukti dalam putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diputus pada Selasa (3/12/2024) dan dibacakan pada Kamis (2/1/2024) lalu.

Meskipun terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, tujuh hakim Mahkamah Konstitusi lainnya mengabulkan permohonan pengujian UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 222 tentang Presidential Treshold (Pres T).

Hal menarik dari putusan setebal 283 halaman tersebut yaitu MK mengakui ‘khilaf’, ‘sesat nalar’ dan pendiriannya selama ini yang selalu berlindung pada doktrin “Pres T sebagai open legal policy pembentuk undang-undang (Pemilu)”.

Dalam pertimbangannya pada halaman 274 putusan, MK tidak hanya mengakui adanya pergeseran pendirian tersebut, yang tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, namun juga mengakui jika rezim Pres T- berapapun besaran atau angka persentasenya - bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945.

Pergeseran pendirian tersebut secara konstitusional sudah tepat, mengingat sebelum putusan a quo, telah ada 36 (tiga puluh enam) PUU terkait Pres T dalam UU Pemilu, dan jika dibaca kembali beberapa argumentasi atau dalil permohonan dalam beberapa PUU sebelum putusan a quo, substansinya sama, mendalilkan jika Pres T bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 karena melanggar hak sipil-politik, bertentangan dengan asas daulat rakyat dalam Negara demokrasi. Tidak kurang kajian filosofi, teori pakar dan pendapat ahli dimasukan dalam permohonan, tapi tetap saja ditolak MK sebelum putusan a quo keluar.

Pres T dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (hlm 274 putusan).

Pada halaman 271 putusan, tersirat kekhawatiran MK jika apabila ketentuan Pres T ini dipertahankan, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon, bahkan calon tunggal sebagaimana fenomena yang terjadi pada pemilihan kepala daerah. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

  • Bagikan