Sengketa Pilkada 2024 (2)

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK) telah memasuki tahapan pembacaan permohonan dari pemohon (penggugat). MK membagi formasi tiga panel hakim dalam persidangan pilkada, yang dimulai sejak Rabu 8 Januari hingga 16 Januari 2025.

Selanjutnya jawaban dari termohon dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta mendengarkan keterangan pihak terkait (peraih suara terbanyak) dan Bawaslu yang dimulai dari tanggal 17 Januari hingga 4 Februari 2025.

Sidang diadakan secara paralel pada tiga ruang sidang. Pemeriksaan perkara akan dilakukan oleh tiga panel hakim yang terdiri atas tiga orang hakim konstitusi. Panel Satu terdiri atas Suhartoyo (Ketua Panel), Daniel Yusmic P. Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara Panel Dua terdiri atas Saldi Isra (Ketua Panel), Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani. Sedangkan Panel Tiga terdiri atas Arief Hidayat (Ketua Panel), Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih.

Untuk pembagian penanganan jumlah perkara, MK memastikan dilakukan secara proporsional. Hal yang menarik, hakim MK dilarang menangani perkara yang berasal dari daerahnya. Misalnya, hakim Guntur Hamzah yang berasal dari Sulawesi Selatan maka tidak akan menangani perkara pilkada yang berasal dari Kota Makassar dan sengketa lainnya yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Pengalaman sengketa pilkada pada tahun 2020, ada beberapa permohonan pemohon yang tidak memenuhi ambang batas untuk melakukan permohonan sengketa di MK, yaitu selisih suara antara pemohon dengan pemenang dalam hal ini pihak terkait melebihi batas minimal yang dipersyaratkan undang-undang dengan selisih suara persentase 0,5 sampai dengan 2 persen dari total suara sah.

Intinya, kemampuan pemohon untuk dapat meyakinkan hakim konstitusi dengan argumentasi dan bukti yang akurat, agar MK membuka kemungkinan permohonan yang tidak memenuhi ambang batas ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dapat dilanjutkan pada tahap pemeriksaan pokok perkara hingga pada tahap putusan.

Banyak perkara yang tidak memenuhi ambang batas namun tetap dilanjutkan pada pemeriksaan pokok perkara. Di ataranya perselisihan Pilkada Kabupaten Boven Digul, Pilkada Kabupaten Yalimo, Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Pilkada Kabupaten Nabire, Pilkada Kabupaten Nias Selatan, Pilkada Kota Banjarmasin, Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, dan beberapa perselisihan hasil pilkada lainnya.

Demikian pula dengan pihak terkait tidak boleh jumawa dengan perolehan suara yang melebihi ketentuan UU untuk pemohon dapat mengajukan permohonan di MK. Sebab MK memeriksa secara cermat semua permohonan pada pemeriksaan pendahuluan, tidak semata mata berpedoman pada ketentuan pasal 158 UU Pilkada.

Jadi sifatnya kasuistis. Mana yang memungkinkan untuk diputus pada putusan sela, mana yang lanjut pada pokok perkara. Apapun keputusan yang akan diambil MK itulah fakta yang mesti diterima semua pihak yang berperkara di MK. (*)

  • Bagikan