Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ada tiga istilah yang sering kali digunakan dan dipandang memiliki makna yang sama, yakni: Sarjana, ilmuan dan intelektual. Sarjana adalah mereka yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan memperoleh ijazah. Ilmuan adalah orang yang mengembangkan ilmu yang dimiliki melalui penelitian dan analisisnya. Sedangkan intelektual adalah mereka yang menggunakan akal pikirannya sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Tuhan.
Sarjana jumlahnya kini sangat banyak, karena hampir setiap perguruan tinggi melakukan wisuda sarjana minimal sekali dalam satu tahun. Tapi sarjana yang menjadi ilmuan sangat terbatas, karena sebagian besar di antara sarjana menjadi tukang-tukang profesional. Apalagi menjadi seorang intelektual sangat sedikit, karena betapa banyak orang yang menggunakan akal pikirannya untuk menipu, merugikan dan berbuat zalim kepada orang lain.
Orang yang tertib melaksanakan salat, puasa, zakat disebut saleh secara ritual. Orang yang senang membantu orang lain, mudah tersentuh melihat penderitaan orang lain, gemar bersedekah dinamakan saleh secara sosial. Saleh secara ritual telah banyak yang meraihnya. Namun saleh secara sosial masih perlu untuk senantiasa dimotivasi untuk mewujudkannya. Karena sebagian besar di antara kita hanya menilai kesalehan seseorang dari seberapa lama dia berdoa, berzikir, dan beribadah ritual. Padahal betapa banyak di antara kita hanya saleh secara ritual namun tidak saleh secara sosial.
Orang yang tertib melaksanakan salat, puasa, zakat, namun tidak peduli kepada anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin dipandang sebagai pendusta-pendusta agama. Karena ukuran kesalehan bukan pada pelaksanaan ibadah ritual, namun pada seberapa peduli kita terhadap sesama.
Maraknya perguruan tinggi sekarang ini satu di antaranya dimaksudkan agar dapat melahirkan dan mewujudkan kesalehan intelektual. Karena itu umat Islam sering kali terjebak pada pemahaman yang keliru dalam melihat ilmu pengetahuan. Ilmu yang dipandang sebagai ilmu Islam hanyalah yang berkaitan dengan fikih, akhlak, ibadah dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Padahal betapa banyak cabang ilmu pengetahuan lainnya yang justru sering terabaikan untuk diperhatikan dan dikembangkan.
Umat Islam gagal membangun pilar-pilar kesalehan intelektual, karenanya senantiasa terbelakang. Selama umat Islam tidak mampu membangun dan menciptakan kesalehan intelektual, selama itu pula akan menjadi umat yang terbelakang dalam segala hal.
Seorang ilmuan muslim Abdus Salam pemenang hadiah nobel berkat teori grafitasi gaya yang ditemukan berkata: Alquran memerintahkan kita dua hal yaitu tafakkur dan tasyakkur. Tafakkur adalah merenungkan dan memikirkan seluruh yang diciptakan Tuhan di alam ini, lalu memahami dan menangkap hukum alam tersebut lalu mengembangkannya inilah yang kemudian melahirkan sains.
Sedangkan tasyakkur adalah mensyukuri karunia yang diberikan oleh Tuhan kemudian dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam kehidupan inilah yang disebut dengan teknologi.
Demikian mulianya orang-orang yang masuk dalam kategori ulul albab yakni intelektual plus, sehingga ajaran agama mengatakan bahwa tinta para ulama lebih utama dari pada tetesan darah para syuhada. Karena itu kepada seluruh calon intelektual, baik yang sementara berada di bangku kuliah maupun yang sedang menempuh ujian seleksi dan menanti pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi, belum terlambat untuk memperbarui niat bahwa kuliah bukan sekadar keinginan meraih gelar sarjana, apalagi gagah-gagahan mencari status sebagai mahasiswa, namun lebih jauh dari semua itu bahwa menuntut ilmu adalah perintah agama dan panggilan jiwa agar menjadi manusia yang merasa terpanggil untuk turut memikirkan dan mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat, kemudian memberikan alternatif pemecahannya dengan analisis dan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat, sebagai wujud pengabdiannya kepada sang Khalik. (*)