Oleh: Babra Kamal
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2003 saya menginjakkan kaki di tempat ini. Saat itu dengan rasa senang yang membuncah di dada karena berhasil diterima di salah satu kampus ternama di kota ini.
Makassar yang dahulu pernah berubah nama menjadi Ujung Pandang merupakan tempat yang ingar-bingar dan begitu jauh dari yang sebelumnya saya alami sebagai anak kampung yang datang dari sebuah desa kecil di selatan Bone.
Di tahun kedatangan saya pertama kali di Makassar dibonceng seorang sepupu dan melewati bilangan Jalan A.P. Pettarani tepat pada saat kota itu punya pemimpin baru-wali kota makassar sedang dilantik di gedung DPRD.
Orang yang diberi amanah menduduki jabatan prestisius itu adalah Ilham Arief Sirajuddin dan wakilnya Andi Herry Iskandar. Nama kedua yang disebut adalah nama yang tidak terlalu asing bagi saya, karena beberapa kerabat telah membicarakannya sebelumnya.
Andi Heri Iskandar yang berdarah Kajuara, kecamatan yang sama tempat saya dilahirkan dan tumbuh besar. Ia keponakan mantan Panglima ABRI Jenderal M. Yusuf.
Pesisir Makassar, bukanlah tempat yang begitu asing. Pantai Losari sudah menjadi kosakata yang melekat di kepala bahkan sejak masih belum berkuliah di sini. Sinetron-sinetron yang saya saksikan ketika di sekolah menengah yang sepertinya dibuat oleh TVRI Ujung Pandang kala itu sudah memberi sekilas gambaran tentang tempat itu.
Pantainya yang indah dan dipenuhi pedagang kaki lima berjejer sedemikian rupa. Bahkan beberapa adegan dalam sinema elektronik itu menggunakan Losari sebagai latar tempat memadu kasih dua anak muda dan ketika cerita mengembang dan konflik mulai memuncak karena status keluarga yang berbeda mereka harus berpisah, kembali sineas mengambil gambar pria putus asa itu dengan jaket yang dikaitkan pada ujung jarinya kembali ke pantai untuk melempar batu ke arah laut sembari memandangi mentari yang sedang berlabuh, meratapi nasib percintaannya yang sedang kurang beruntung.
Persentuhanku dengan pesisir Makassar bukan hanya karena tempat itu adalah destinasi yang terbaik yang kerap dipromosikan oleh Dinas Pariwisata setempat sebagai tempat yang wajib dikunjungi ketika ke Makassar-dengan suguhan panorama sunset-nya yang diklaim salah satu yang terbaik di Indonesia. Tapi juga karena saya adalah mahasiswa budidaya perairan yang mesti dan beberapa kali harus berada di Pulau Spermonde (kepulauan yang ada di hadapan Kota Makassar) baik karena kegiatan kemahasiswaan ataupun karena perkuliahan yang mengharuskan mengambil sampel dan lain-lain.
Beberapa tahun setelahnya intensitas itu semakin bertambah saja karena saya ikut berkecimpung pada organisasi yang dekat dan kerap mengadvokasi rakyat miskin termasuk di dalamnya para pedagang kaki lima, pedagang asongan yang berada di sekitar pesisir itu.
Fenomena pembangunan Kota Makassar yang gencar dalam 20 puluh tahun terakhir, mal-mal didirikan, jalan-jalan dilebarkan, gedung-gedung ditinggikan sedemikian rupa, sehingga saya kadang merasa sangat kecil dan tak berdaya di hadapan bangunan itu.
Pembangunan tersebut beriringan dengan proses reklamasi yang terjadi di Makassar. Tulisan soal reklamasi ini sebenarnya telah saya kerjakan sejak tahun 2017 lalu, namun ketika baru-baru ini viral kasus kepemilikan SHGB lahan di atas laut seluas 23 hektar di Kecamatan Tamalate, rasa-rasanya tulisan ini masih cukup relevan untuk dibaca.
Reklamasi menjadi dalih untuk memperluas ruang di perkotaan bertemu dengan kebutuhan investasi para pemodal, hal inilah yang masih menjadi problem sampai saat itu, terutama reklamasi yang terjadi di pesisir selatan Makassar.
Saat ini kawasan Center Point Of Indonesia (CPI) yang luasnya 156 hektare yang pada konsep awalnya adalah pembangunan kawasan Istana Negara di Timur Indonesia telah berubah menjadi area terbuka dengan pemandangan masyarakat kota yang memanfaatkan menjadi area sosial space.
Visi Pemimpin
Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham (MULIA) akan segera dilantik. Seingatku dalam debat Pilkada yang lalu tidak ada perdebatan atau wacana bagaimana nasib pengelolaan pesisir di makassar terutama dalam soal reklamasi.
Tetapi, jika mengintip wisi-misi Munafri Arifuddin-Aliyah Mustika (MULIA) yang disebut Asta Cita MULIA terutama pada poin ke 8 disebutkan bahwa pasangan MULIA akan “Mewujudkan kota yang tangguh terhadap bencana dan perubahan iklim serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau.”
Jika dilihat dari misi ke 8 Asta Cita pasangan MULIA itu ada secercah harapan bagaimana pengelolaan ruang pesisir dalam lima tahun ke depan di Kota Makassar, karena 10 tahun terakhir ini kita tidak bisa lagi menikmati indahnya sunset Losari karena aktivitas krane-krane yang menjulang, juga penambangan pasir yang terus berlanjut di sebelah selatan pantai Makassar.
Sebagai warga Makassar tentu saja kita berharap pemimpin baru ke depan dalam hal ini wali kota yang baru akan bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi terutama dalam soal penataan kawasan pesisir, yang dalam RTRW Kota Makassar merupakan kawasan strategis nasional. (*)