Muhammad Muadz Raih Gelar Doktor, Teliti Syahadat Metode Wakalah di Suku Ta’a Wana

  • Bagikan
Muhammad Muadz

MAKASSAR, RAKYATSULSEL– Muhammad Muadz resmi menyandang gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor Program Studi Dirasah Islamiyah, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Kamis, 13 Februari 2025.

Sidang promosi ini dipimpin langsung Direktur Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Abustani Ilyas MA.

Dalam disertasinya yang berjudul "Konstruksi dan Praktik Pengucapan Syahadat Melalui Metode Wakalah bagi Suku Pedalaman Ta’a Wana Kabupaten Morowali Utara", Muadz meneliti fenomena keagamaan di komunitas suku Ta’a Wana. Penelitiannya berfokus pada bagaimana pengucapan syahadat dilakukan melalui metode wakalah, yakni penyerahan pernyataan keimanan kepada kepala suku sebagai wakil mereka.

Penelitian ini mengungkap bahwa metode wakalah diterima secara syariat dan mencerminkan keterbukaan komunitas terhadap ajaran Islam. Pengucapan syahadat dengan cara ini juga berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas, membentuk identitas baru yang mencakup aspek spiritual, material, dan budaya.

Muadz mengidentifikasi tiga model utama dalam konstruksi sosial pengucapan syahadat di suku Ta’a Wana, yakni Eksternalisasi, d8 mana Masyarakat beradaptasi dengan teks kitab suci dan nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial mereka.

Lanjut, Objektivasi yaitu Ajaran Islam mulai diintegrasikan dengan adat setempat melalui proses dakwah dan pembiasaan nilai-nilai baru. Serta, Internalisasi adalah Islamisasi yang terjadi membawa paham puritan, moderat, hingga sinkretisme, yang kemudian memengaruhi perilaku dan interaksi sosial mereka.

Muadz juga mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi proses ini. Keberadaan dai yang konsisten membina komunitas serta peran kepala suku yang amanah menjadi faktor utama yang memperlancar pengucapan syahadat.

Namun, ada tantangan yang cukup besar. Karakter masyarakat yang masih terisolasi membuat mereka cenderung mempertahankan tradisi lama, sehingga dakwah perlu pendekatan khusus. Selain itu, kondisi geografis yang sulit dijangkau turut menjadi penghambat penyebaran ajaran Islam di daerah tersebut.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode wakalah membuka ruang dialog antara Islam dan budaya lokal. Muadz menekankan bahwa pendekatan dakwah harus mempertimbangkan kearifan lokal agar Islam dapat diterima tanpa menghilangkan identitas budaya masyarakat setempat.

Ia juga menyoroti bahwa modernisasi yang masuk ke suku pedalaman harus dikelola dengan bijak. Menurutnya, integrasi nilai-nilai Islam dengan budaya lokal harus dilakukan secara komprehensif agar ajaran agama dapat diterapkan tanpa menimbulkan resistensi sosial. (*)

  • Bagikan