Lima Profesor Hukum “Kuliti” RUU KUHAP

  • Bagikan
Para peserta mengikuti workshop membahas terkait RUU KUHAP di Hotel Unhas, Jumat (21/2/2025)

"Kalau kita lihat di Indonesia, KUHAP kita, di undang-undang 881 sebenarnya menganut tiga esensi. Kalau diproses itukan lebih cenderung kepada perlindungan individu atau hak asasi," ujar Prof Thalib.

Crime control model disebut itu lebih pada pertimbangan-pertimbangan efisiensi, sehingga kadang kala titik lemahnya adalah memburu efisiensi tapi kadang kala mengorbankan hak-hak individu. 

"Jadi kita sekarang lebih pada perpaduan antara sistem yang ada di berbagai negara," sebutnya.

Bahkan, kata Prof Thalib, sekarang ini muncul sistem family atau lebih dikenal sebagai Restorative Justice Sistem. Meskipun hal ini belum diatur dalam KUHAP sekarang.

"Ini tidak dikenal dalam KUHAP, tapi ini perkembangan baru, bahwa para pihak korban, pelaku dan keluarga dan masyarakat dilibatkan dalam rangka menyelesaikan masalah dalam tindak pidana tertentu, karena payung hukumnya ini juga belum ada," sebutnya.

"Hanya sebatas kalau di kepolisian ada Perkap Nomor 8 Tahun 2021, ada di Kejaksaan, ada di Mahkamah Agung. Yang ada dalam bentuk undang-undang itu adalah undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, dalam sistem peradilan pidana anak dengan model diversi yang kemudian ujung-ujungnya adalah bagaimana mempertemukan anak yang terlibat dalam persoalan hukum dengan korban untuk diselesaikan secara restorati," sambungnya.

Adapun dalam diskusi atau workshop ini disimpulkan 11 poin. Menurut Prof Amir Ilyas, poin-poin pembahasan dalam kegiatan ini nantinya akan disampaikan kepada DPR RI untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat RUU KUHAP.

Tiga point diantaranya yakni perlunya publikasi RUU KUHAP yang terbaru, muda diakses oleh semua pihak, dengan mengingat RUU KUHAP bukan hanya melibatkan para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim) semata, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang bersendikan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan masyarakat yang beradab. 

Kemudian masalah prinsip check and balance, prinsip diferensiasi fungsional harus lebih diutamakan, daripada memberlakukan prinsip dominus litis secara serta merta. Dimana fungsi penyelidikan dan penyidikan harus tetap menjadi "independensi" kepolisian, begitu pula dengan fungsi penuntutan harus tetap menjadi "independensi kejaksaan".

Dan ketiga dalam rangka menjalankan prinsip check and balance demikian, agar tetap tercipta independensi diantara "kepolisian dan kejaksaan ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHAP yang melemahkan independensi penyidikan Polri, seperti Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 50, Pasal 72, Pasal 95.

"Ini menjadi telaah dan ini akan kami kirimkan ke Komisi III DPR RI, pemerintah dan organisasi masyarakat demi pembangunan dan penegakan hukum pidana yang lebih baik kedepan," kata Prof Ilyas. (Isak/C)

  • Bagikan