"Sebaliknya, tokoh masyarakat, pejabat negara, politikus, bahkan semua orang sebaiknya memberi contoh kepatuhan pada peraturan dan menjaga kondisi tetap tetap aman dan nyaman bagi semua orang," jelas Saiful.
Terpisah, Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sulsel, Dr Sakka Pati menilai disinilah peran Bawaslu dan Panwaslu sangat penting untuk mengkampanyekan adanya regulasi tersebut.
Menurutnya, sangat ideal jika larangan itu dijalankan oleh pejabat negara termasuk kepala daerah dan politikus yang kini masih mengandalkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai kekuatan dalam hajatan politik.
"Saya kira bagus sekalai aturan. Maka dibutuhkan konsentrasi Bawaslu dan Panwaslu sebagai pengawas pemilu. Bagaiaman melakukan pengawasan terhadap pejabata publik, kita tau selama ini juga kekuatam pwjabat publik ada di ASN dan masyarakat," ucapnya.
Akademisi Hukum Unhas itu menuturkan, dalam setiap perhelatan pemilu pejabat publik dan politikus menjadikan ASN juga sebagai kekuatan baik kampanye maupun sosialisasi.
"Kita berharap kedepan imbuan Bawaslu agar tak boleh mobilisasi massa seperti promosi diri atau keluarga dihindari," haeap dia.
Lanjut dia, ASN selalu menjadi sorotan, karena posisi ASN rentan untuk dipolitisasi. Berdasarkan UU ASN No 5/2014 sejatinya seorang ASN harus netral dan tidak bisa dipengaruhi oleh orang atau kelompok dalam melakukan kegiatan politik yang menguntungkan ataupun mengarah mengunrungkan kandidat yg akan ikut kontestasi.
Demikian juga dalam bbrp aturan terkait antara lain UU Pemilu UU Pilkada, dan beberapa aturan teknis. Maka Bawaslu sebagai penyelenggara yang mengawasi ASN dlm menjaga netralitas, baik itu temuan maupun laporan, dituntut untuk lebih pro aktif dalam melakukan penindakan bagi ASN yg melanggar.
"Kondisi yang membuat ASN masih tergoda dalan politik praktis disebabkan kurangnya mentalitas sebagai abdi negara, orientasi mengejar jabatan dan masih lemahnya sanksi membuat ASN terjebak dalam politik praktis," pungkasnya. (*)