Penulis :Muhammad Abduh Rachman
Muktamar Muhammadiyah ke 48 berlangsung di Solo dan dihadiri jutaan orang di seluruh penjuru nusantara.
Apakah akan terjadi gesekan halus atau gesekan kasar ataukah kebablasan dalam artian hembusan dan isyu gap, suara punya nilai, ataukah diintervensi ternyata tak nampak.
Mereka menunjukkan yang sejatinya musyawarah itu adalah penyatuan pendapat yang mulia dan berakhlak dan bisa di pertanggung jawabkan dunia wal akhirat.
Sidang pleno digelar di Auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta yang beberapa orang mengklaim bahwa ini adalah Auditorium is the best di dataran wilayah Jawa Tengah.
Tidak ada sampah di tengah puluhan ribu massa. Tidak teriakan besar dari mereka apa lagi gesekan dorong mendorong sangat jauh dari seperti yang biasa kita lihat ketika adanya musyawarah besar.
Sebuah perhelatan yang memberikan rekam jejak yang bagus untuk generasi kita akan datang sebagai bukti cinta kepada NKRI ini tanpa melakukan hiruk pikuk dan saling menyakiti.
Sistim penjaringan mereka dari bawah awal dari seleksi ketat untuk tidak mengikut sertakan orang yang terselubung.
Mereka mampu mendeteksi dengan AD/ART mereka yang matang, teruji dan terseleksi.
Majelis Tanwir mereka juga bagian dari kunci kemenangan ukhuwah. Mereka memilih angka 13 sebagai lambang dekramatisasi, yang banyak orang beranggapan itu angka sial. Dan fakta tak terbantahkan Muhammadiyah anti sial.
Belum lagi sistim pemilihan secara e-voting walaupun belum sepenuhnya komputerisasi tetapi ini pertama kalinya mereka memakai sistim yang berkemajuan.
Tidak lagi memakai kertas dan pulpen seperti zaman dahulu televisi masih hitam putih.
Tetapi peserta tetap memasuki bilik untuk menjamin kerahasiaan. Peserta tinggal klik untuk memilih.
Beberapa bilik disediakan sehingga cepat sekali untuk dapat diakumulasi dalam tabulasi suara.
Sehingga terpilihlah tiga belas nama yang kemudian tiga belas nama itu bersidang.
Diantara tiga belas nama itu ada nama Prof Dr Haedar Nashir yang terpilih kembali.
Alhamdulillah, isu adanya kubu kubu an, isu adanya intervensi kekuasaan, isu adanya suara berupiah, ternyata hanya berujung hoax.
Sebaiknya kita belajar dari Muhammadiyah bagaimana bermuktamar dengan mulia yang dapat di pertanggung jawabkan dunia wal akhirat.