Politik Identitas, Sara dan Hoax Dinilai Bayangi Pemilu 2024

  • Bagikan
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja Hadiri Rapat Evaluasi di Makassar, Sulsel, Selasa (21/2) Kemarin.

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden 2024 mendatang masih dihantui Politik Identitas, Sara dan Hoax.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menyebut kerawanan penyebaran hoaks yang bersumber dari media sosial masih sangat berpotensi terjadi pada Pemilu serentak tahun 2024.

"Kita berkaca pada kerawanan tahun 2019 lalu, kita lihat banyaknya permasalahan politisasi SARA dan politisasi identitas, ini akan nyambung dalam media sosial dan ini berkesinambungan," kata Rahmat, Rabu (22/2).

Dirinya menyebutkan politisasi isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) serta politisasi identitas untuk mendapatkan simpati dari masyarakat saat Pemilu masih sangat berpeluang bila tidak dibendung.

"Oleh sebab itu, kita akan menemukan hal yang kemungkinan sama terjadi pada Pemilu tahun 2024. Itu masih ada dan kemungkinan masih tinggi," ucapnya.

Rahmat menyatakan untuk mengantisipasi Politisasi SARA, pihaknya akan bekerja sama dengan tokoh agama dari MUI, PGI, Walubi, dan lainnya.

"Jadi kami mengajak berdialog untuk menurunkan tensi dan juga politisasi SARA di tempat-tempat ibadah," bebernya.

Disinggung bagaimana dengan antisipasi serangan hoaks di medsos apakah Bawaslu akan membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) khusus menangani medsos, kata dia, belum dilakukan. Meski demikian, pihaknya terus mencari cara mengatasi hal itu.

"Belum, ini proses. Kita lagi mencari rumusan yang apa yang diharuskan dan apa yang dilarang dalam media sosial. Kita akan kerja sama dengan teman-teman Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi)," paparnya.

Disinggung soal gambaran seperti apa bentuk pelanggaran di medsos, kata Rahmat, gambarannya agak sulit penegakan hukumnya.

Namun demikian, ke depan pihaknya berharap penegakan hukumnya didukung bersama Kominfo, kepolisian terutama berkaitan dengan politisasi SARA, fitnah hoaks dan black campaign atau kampanye hitam.

Sebab, yang bisa mendeteksi itu hanya Kominfo, Cyber Crime Mabes Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), karena Bawaslu tidak memiliki alat untuk melacak medsos penyebar hoaks tersebut.

"Bisa saja akunnya akan diblokir, di take down kemudian kita cari orangnya siapa, dan itu bisa dipidana. Kita tidak punya alat, yang punya alat Kominfo dan Cyber Crime Polri dan BSSN. Oleh sebab itu kerja sama itu sangat penting sekali," jelasnya. (Fahrul/B).

  • Bagikan