People Power Sebagai Political Will Warga Negara Mengawal Pemilu 2024

  • Bagikan
Ketua KPU Bulukumba, Asbar

Kehendak politik masyarakat (People power) untuk menunjukkan eksistensi menyampaikan pendapat dalam mengawal demokrasi yang damai dengan melibatkan berbagai lapisan elemen tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai bentuk upaya mendeligitimasi dan upaya gerakan inkonstitusional yang mengarah pada tindakan makar terhadap negara. Justru pengekangan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat dapat dikategorikan sebagai bentuk Kejatahan sebagaimana yang termuat di dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

People power bukan bergerak atas landasan agama tertentu melainkan bergerak atas nama keadilan, people power bukan bergerak atas nama rasa atau etnis tertentu melainkan bergerak atas nama kebenaran. Indonesia mempunyai sejarah people power pada tahun 1998 di mana masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, pendidikan dan tingkatan ekonomi berkumpul dan bergerak atas nama penolakan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari pemangku kekuasaan yang dianggap korup.

Tidak fair rasanya jika masyarakat yang berangkat dar kegelisahan dan keresahan yang sama dalam menilai sebuah realitas dengan gamblang dideligitimasi spirit dan keinginannya mengawal sebuah tatanan sistem untuk menjamin proses demokrasi tidak dicederai dan dilecehkan oleh segelintir kelompok yang berkepentingan menuju kekuasaan.

Desakan Political Will Presiden
Konstelasi politik saat ini secara nyata menciptakan polarisasi hitam-putih elektoral dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut menyentuh mulai dari tataran elite sampai dengan tataran akar rumput (grass root). Tatanan yang telah terawat sekian lama oleh kehadiran regulasi sistem dan institusionalisasi yang berbalut negara hukum didasari oleh trust masyarakat terhadap pemerintah (executive), legislatif (legislator) dan yudikatif (judicial). Rusaknya sebuah tatanan sosial dapat bermula dari pengaruh sebuah kebijakan dan pelaksanaan suatu kebijakan. Disorientasi penegakan hukum akan melahirkan distrust atau hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan dan penegak hukum, apabila distrust telah terjadi maka konsekuensi logis yang mesti ditanggung adalah disintegration atau kehancuran sebuah tatanan sosial dalam bernegara dikarenakan perpecahan yang kian masif.

Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan kenegaraan sepatutnya memberikan sikap dan pernyataan mengenai kekalutan politik yang terjadi. Saling mendeligitimasi antara masyarakat dan lembaga negara secara nyata telah terjadi dan akan berdampak pada hubungan struktural kenegaraan (tools) maupun probabilitas konflik horizontal di kalangan masyarakat. Ketika kekalutan didiamkan dan tidak ada penengah yang muncul secara bijaksana maka masyarakat (people society) akan mencari sendiri jalan kebenarannya yang dipandu oleh hati nurani. Rakyat akan berkumpul dengan sendirinya berdasar pada perasaan dan kesamaan naluri serta nurani, pada saat berkumpul itulah maka kekuatan (power) atas nama kedaulatan rakyat akan melegitimasi dirinya melalui sebuah gerakan People Power. (**)

  • Bagikan