People Power Sebagai Political Will Warga Negara Mengawal Pemilu 2024

  • Bagikan
Ketua KPU Bulukumba, Asbar

Oleh: Asbar M Akib

PEOPLE Power belakangan muncul dan populer sebagai payung narasi untuk mengawal perbaikan tatanan demokrasi. People Power hadir sebagai statement atas penolakan penundaan pemilu serentak 2024. Terlebih dengan hadirnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) memulai dari awal proses pemilu yang dinilai banyak kalangan tidak masuk akal. istilah people power menjadi stimulus energi yang begitu besar bagi banyak elemen dalam masyarakat. Kesadaran politik masyarakat dan antusiasme yang begitu besar untuk melibatkan diri dalam realitas politik saat ini tumbuh dari implikasi produk kebijakan yang berdampak langsung di dalam kehidupan masyarakat.

Dalam kedudukan konstitusi, jelaslah bahwa rakyat (people) mempunyai legal standing dan positioning sebagai pemegang kedaulatan (power) dalam sebuah konsepsi negara hukum dengan sistem demokrasi. Pasal 28E ayat 3 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”. Pasal 2 UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga diakui dan dijamin penyampaian pendapat secara bebas, sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. apabila hal paling mendasar tersebut disumbat dan terkesan dideligitimasi maka akan mempertegas ketidakberpihakan negara terhadap hak kedaulatan rakyat.

Niat dan pikiran-pikiran baik tidak boleh dihalangi. Solidaritas yang terjalin dan konsolidasi yang kian masif untuk mengawal proses demokrasi tidak boleh diredam dengan tuduhan mendeligitimasi lembaga. People power mesti disambut dengan kegembiraan dalam pembangunan nilai demokrasi. Sejatinya, gerakan people power merupakan sebuah bentuk kesadaran dari masyarakat. Mereka berusaha melawan dan melakukan protes terhadap bentuk kedzaliman dan kesewenangan para penguasa. Caranya pun beragam. Mulai dari menyanggah fakta yang selama ini beredar di masyarakat, melawan arus ilmu pengetahuan dan mengungkap bobroknya sistem yang ada.

Wacana Penundaan Pemilu
Dalam prinsip demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 22 E ayat 1) dengan menjamin prinsip perwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. jelas dalam aturan UUD 1945 bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

Dengan menunda pemilu maka akan melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi. Suandi Hamid (Jurnal Demokrasi; 2022) memaparkan bahwa penundaan Pemilu tahun 2024 itu hanya akal-akalan dan hal tersebut mencerminkan terdapat defisit moral dari para pemimpin negara yang menghendaki hal tersebut. Lebih lanjut Suandi menyatakan gagasan penundaan Pemilu tahun 2024 yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek harus dijauhi, harus dihindari dan harus tidak direalisasikan dalam alam demokrasi yang berasaskan Pancasila, yang menjalankan politik berbasis Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan atau politik Adiluhung (high politic). Ketika memaksakan Pemilu harus ditunda itu menjadi pendidikan politik yang buruk bagi anak bangsa terlebih para generasi muda (Pemilih Pemula) dan menjadi ancaman demokrasi serta ekonomi. penundaan pemilu bukanlah solusi untuk menangani adanya krisis dalam Negara.

People power; Political will Masyarakat; Bukan “Makar”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makar diartikan sebagai (i) akal busuk, tipu muslihat; (ii) perbuatan dengan maksud menyerang; atau (iii) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah. Sedangkan makar dalam beberapa buku KUH pidana berasal dari istilah aanslag (bahasa belanda) yang didefinisikan sebagai serangan (Pasal 104 KUHP).

Menurut R. Soesilo (1991:97) yang masuk dalam pengertian aanslag hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksanaan, lebih lanjut aanslag itu terjadi biasanya disertai dengan perbuatan kekarasan. Artinya apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka suatu perbuatan itu tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar. dengan demikian, perbuatan tindak pidana makar tidak seseharusnya ditafsirkan secara luas. Aparat hukum negara semestinya tidak perlu bertindak represif dan melihat kritik sebagai sebuah ancaman terhadap demokrasi, apalagi menciptakan phobia di tengah masayarakat.

  • Bagikan