Amicus Curiae; The Moral Force

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejak 20 Maret 2024 KPU mengumumkan hasil Pemilu 2024. KPU secara terbuka menginformasikan ke publik atau kepada paslon yang ingin mengajukan gugatan ke MK terkait hasil pilpres 2024. Dan, tanggal 21 Maret 2024 paslon dari Anies Baswedan-Muhaimain Iskandar melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan ke MK. Tanggal 22 Maret 2024 disusul oleh paslon Ganjar-Mahfud melayangkan gugatan ke MK. Gugatan itu didasari adanya berbagai temuan atas kecurangan yang ada dalam pemilu 2024.

Pengajuan gugtan ke Mahkamah Konstitusi merupakan jalan proses penegakan hukum didalam melihat kejanggalan dalam kontekstasi politik. Sebagian pengamat menyebutnya bahwa kejanggalan itu diawali di keputusan MK Nomor 90 tahun 2023 yang meloloskan batas umur cawapres yang dinilai lebih mengarah kepada politik asuh kepada Gibran putra Presiden Jokowi. Polemik ini terus berlangsung hingga pencoblosan berakhir.

Adanya kejanggalan Sirekap KPU yang bermasalah, adanya mobilisasi kades, ASN, aparat yang tidak netral, bahkan cawe-cawe presiden satu indikasi ketidaknetralan seorang presiden, bahkan yang lebih parah adalah politisasi bansos dengan anggaran 496 T sementara menurut menteri sosial anggaran bansos hanya sebesar 61 T. Intimidasi serta adanya indikasi keberpihakan penyelenggaran pemilu. Semua itu anasir yang diajukan oleh penggugat ke MK.

Berbagai polemik kemudian muncul, bisakah hasil pemilu di batalkan? Secara hukum mungkin tidak, tetapi bisa saja dibatalkan kalau memang bukti-bukti kecurangan itu sahih dan sulit untuk dibantah. Dalam sejarah politik modern, ada beberapa negara hasil pemilunya dibatalkan seperti: Ukraina mengulang hasil pemilu mereka usai pemilu 2004. Austria mengulang pemungutan suara pada pemilu 2016.

Thailand bahkan berkali-kali melakukan pengulangan dalam pemilu sejak 2006 dengan berbagai alasan. Bolivia dan Malawi mengulang hasil pemilu mereka pada tahun 2019. Bahkan yang lebih heroik adalah Mahkamah Agung Kenya membatalkan pemilihan presiden yang dimenangkan petahana 52 persen Uhuru Kenyatta pada 8 Agustus 2017 karena terindikasi melakukan kecurangan dalam pemilu.

Karena itu Mahkamah Konstitusi adalah jalan konstitusional bagi sengketa pemilu untuk mencari titik temu yang adil bagi demokrasi. Sejak sepuluh tahun terakhir ini indeks demokrasi Indonesia semakin menurun, hal ini disebabkan berbagai variabel seperti ; tingginya kasus pelanggaran hukum termasuk angka korupsi semakin meningkat, kebebasan atas hak-hak sipil yang dikekang, KKN yang semakin melanggengkan politik dinasti dan politik kolegial.

Dengan melihat kondisi yang demikian, tentu semua pihak bertanggung jawab untuk mengembalikan harkat dan martabat demokrasi melalui jalur hukum konstitusional disaat pengajuan hak angket mengalami stagnasi, yang patut dicurigai karena politik sandera atau proses tawar menawar politik di balik meja para bandar politik.

Bagaimana aliran dana siluman yang mengalir ke kampanye partai politik dari korupsi timah sebesar 271 T, bahkan disebut oleh beberapa media kalau Kaesang (putera presiden Jokowi) juga menerima alairan dana tersebut bahkan disebut pula beberapa nama selebriti tanah air. Uang yang mengalir dalam politkm adalah pencemaran demokrasi---(Theodore Putih).

Sengketa pilpres yang terus bergulir di meja MK, memunculkan berbagai bentuk keprihatinan dari berbagai pihak baik secara personal maupun organisasi dalam bentuk aksi atau protes.

Bahkan yang lagi santer saat ini adalah munculnya berbagai bentuk keprihatinan melalui Amicus Curiae atau sahabat pengadilan untuk memberikan atensi kepada hakim-hakim MK secara hati nurani untuk melihat segala persoalan yang bukan hanya melalui pendekatan hitan diatas putih tetapi juga diharapkan dapat melalui pesan-pesan moral terkait perkara yang ada.

Amicus Curiae atau "sahabat pengadilan" merupakan suatu konsep hukum yang melibatkan pihak ketiga dalam memberikan masukan pada perkara tertentu. Tahukah apa saja tujuan dan fungsi dari konsep hukum tersebut? Belakangan ini Amicus Curiae tengah naik daun gegara pengajuan diri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ia berkeinginan menjadi amicus curiae untuk perkara sengketa hasil Pilpres 2024.

Dokumen sahabat pengadilan milik Megawati sudah diserahkan ke Mahkamah Konstitusi pada Selasa 16 April 2024. Supaya dapat memahami tentang amicus curiae, berikut penjelasan mengenai pengertian, fungsi dan tujuan hingga kategori seseorang bisa menjadi sahabat pengadilan.

Apa Itu Amicus Curiae? Amicus Curiae atau disebut juga dengan "sahabat pengadilan" merupakan sebuah konsep hukum yang melibatkan pihak ketiga untuk memberikan masukan dalam suatu perkara di persidangan.

Sosok Amicus Curiae bisa berasal dari individu, kelompok ataupun organisasi. Posisi Amicus Curiae berbeda dengan konsep intervensi, karena mereka tidak bertindak sebagai pihak yang sedang dalam perkara, tetapi hanya berkepentingan menyampaikan informasi terhadap kasus secara khusus.

Tujuan dan fungsi Amicus Curiae bagi hukum, Amicus Curiae berguna sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan serta memutuskan perkara. Hakim dapat menggunakan informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya dari pihak ketiga tersebut.
Tujuan Amicus Curiae adalah untuk memberikan keterangan, membantu pemeriksaan dan sebagai bentuk partisipasi.

Keterangan yang diberikan dapat berupa paparan fakta, pendapat hukum ataupun penjelasan secara ilmiah. Dalam peradilan di Indonesia, amicus curiae memiliki fungsi tersendiri. Sahabat pengadilan ini biasanya dipakai dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang bertujuan untuk mempertimbangkan hasil keputusan. Selain HAM, Amicus Curiae kerap digunakan pada kasus banding dan isu kepentingan umum seperti masalah sosial atau kebebasan sipil yang sedang diperdebatkan.

Sehingga keputusan hakim akan memiliki dampak yang luas terhadap hak masyarakat. Kedudukan Amicus Curiae tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang tercantum dalam KUHAP. Alasanya karena Amicus Curiae merupakan bukti baru yang tidak memiliki bentuk baku dan belum diatur secara jelas atau formil dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Kekuatannya terletak pada keyakinan hakim dalam menilai isi serta relevansi dari keterangan yang disampaikan.

Ia juga tidak dapat disebut sebagai saksi ataupun saksi ahli. Sebab merupakan hal baru di peradilan namun secara praktik sudah diterapkan dalam beberapa kasus. Ketika suatu organisasi atau kelompok mengajukan amicus curiae dalam persidangan dan disetujui oleh hakim, maka ia diperbolehkan menyampaikan pendapat tetapi tidak untuk melawan. Hanya sekadar pendapat saja.

Sosok Amicus Curiae tidak harus seorang pengacara handal. Setiap orang yang memiliki pengetahuan terkait suatu perkara dapat memberikan keterangan di pengadilan. Ia berhak mengajukan diri sebagai amicus curiae. Sebab, pendapat yang disampaikannya tergolong berharga bagi hakim. Keterangan yang diberikan dapat disampaikan secara tertulis ataupun lisan.

Berkas yang diajukan secara tertulis disebut sebagai amicus brief. Keterangan dari seorang amicus curiae disampaikan atas permintaan diri sendiri atau dari pengadilan asalkan diizinkan ketua pengadilan. Ada tiga kategori Amicus Curiae yakni: (1) Mengajukan izin atau permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan. (2) Memberikan pendapat atas permintaan hakim. (3) Memberikan informasi ata pendapat atas perkaranya sendiri.

Karena itu Amicus Curiae yang diajukan oleh berbagai pihak dalam sengketa pemilu adalah bentuk kepedulian atas apa yang menjadi dasar perkara di MK. Amicus Curiae juga bisa dsebut sebagai the moral forces dan ini sudah disampaikan dalam berbagai petisi-petisi dari kampus yang juga sebagai bentuk keprihatinan atas demokrasi---sekalipun Jokowi tidak merespon hal tersebut dan menganggap angin lalu. Karena ketulian rezim pada akhirnya berujung pada the political forces di depan DPR beberapa waktu yang lalu.

Dan fenomena the political forces kembali muncul ketika beberapa elemn masyarkat melakukan aksi istigoshah akbar di depan MK untuk memberikan spirit kepada hakim-hakim MK didalam mengambil keputusan sesuai hati nurani.

Menjadi beban moral bagi hakim-hakim MK untuk mengambil keputusan pada tanggal 22 April 2024 mendatang—mengingat berbagai resiko politik yang akan muncul bila salah memutuskan perkara hasil sengketa. Bahwa keputusan MK bukan tanpa resiko, menganulir hasil pemilu tentu penuh dengan resiko, menolak gugatan juga dengan resiko---karena itu hakim-hakim MK saat ini berada dalam pertarungan kebatinan.

Brenailah benar, walaupun sendiri---(Baharuddin Lopa), akankah hakim-hakim MK akan tegak berdiri pada nilai kemuliaan yang disandangnya. “Ketika pakar hukum tidak tersinggung dengan pelanggaran hukum yang terjadi, maka lebih baik jadi tukang sapu jalanan---(Pramoedya Ananta Toer). (*)

*Penulis adalah Direktur Eksekutif LKiS

  • Bagikan