"Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia salah satu yang terbaik. Saat perang Rusia-Ukraina berlangsung sengit dan harga pangan meroket, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,3 persen. Kita berharap di tahun 2023 tetap tumbuh di atas 5 persen," ujar Febrio saat diskusi di Kompas.id Senin (6/3/023) di Tangerang, Banten.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 terbentuk karena konsumsi yang membaik dan kinerja ekspor yang positif. Tahun 2022, ujar Febrio, neraca perdagangan RI surplus 54,4 miliar USD. Ini surplus tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Saat itu, harga migas, batubara, dan sawit naik. Hilirisasi biji nikel ikut menambah surplus tersebut.
Perlu diketahui, setelah hilirisasi biji nikel, nilai tambahnya naik 200 persen. Dari 15 milyar menjadi 300 milyar USD. Ke depan, Indonesia akan melakukan hilirisasi terhadap biji bauksit (aluminium), timah, dan tembaga. Harapannya, agar nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia makin besar. Jelas ini akan menambah kekuatan menghadapi resesi global.
Yang menarik di tengah dunia yang cemas menghadapi resesi global, ada kondisi yang justru menimbulkan harapan. Terutama di negara-negara berkembang yang dinilai "positif" kinerja ekonominya di tengah krisis dan pasca pandemi Covid-19 -- seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, India, dan beberapa negara lainnya.
Mereka justru kebanjiran investasi asing. Investor global makin banyak menanamkan dana di berbagai aset finansial, terutama obligasi pemerintah.
Anehnya, suku bunga di negara-negara maju yang tinggi, termasuk di The FED ( Bank Sentral AS), tak mengurangi minat investor global menaruh uangnya di obligasi pemerintah negara berkembang meski risikonya tinggi. Sepanjang Januari 2023, misalnya, dana sebesar 1,1 miliar USD mengalir ke negara-negara berkembang.
Kondisi ini bertolak belakang dengan tahun 2022 lalu. Saat itu, The FED menaikkan suku bunga dan negara berkembang nyaris tak berdaya menahan larinya modal (capital outflow) ke negara maju.
Why happened? Investor global tampaknya lebih mempercayai pemulihan ekonomi negara berkembang ketimbang negara maju pasca berakhirnya pandemi. Ini artinya investor global percaya, prospek ekonomi negara berkembang pasca pandemi lebih menjanjikan.