Inovasi Tanpa Henti

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Perjalanan hidup manusia mengenal apa yang disebut Tazkiyatun Nafs atau proses penyucian diri, yakni upaya yang dilakukan secara terus menerus tanpa mengenal kata berhenti. Keperluan untuk menyucikan diri merupakan sesuatu yang sangat mendesak bagi setiap orang hingga akhir hayatnya. Terdapat beberapa prinsip dalam proses penyucian diri yakni: Pertama, penyucian diri harus berlangsung secara terus menerus.

Meraih kesempurnaan adalah sesuatu yang tak terhingga, ketika seseorang menyucikan diri, dia sedang menjalani proses tanpa batas. Tak seorang pun yang boleh merasa cukup dalam hal proses penyucian dirinya. Kedua, karena proses penyucian diri merupakan perjalanan yang terus-menerus, jika ada seseorang yang berhenti di tengah proses ini, dia akan jatuh kembali ke tingkat yang serendah-rendahnya.

Berkaitan dengan penyucian diri dikenal ada dua istilah yakni berakhir dengan buruk (su’ul khatimah), untuk menggambarkan orang yang telah berusaha keras untuk menyucikan dirinya, kemudian tiba-tiba berhenti. Dia telah merasa sempurna, pada saat itu dia jatuh ke tempat paling rendah. Lawan dari istilah ini adalah berakhir dengan baik (husnul khatimah), ketika seseorang memulai perjalanan hidupnya dengan hal-hal yang buruk. Namun di sisa akhir hidupnya, dia merintis jalan kesucian.

Beberapa contoh dalam sejarah tentang mereka yang menjalani proses penyucian diri kemudian berhenti sehingga jatuh pada kesesatan. Misalnya sejarah menyebutkan Bal’am bin ba’urah, seorang ulama besar pada zaman Bani Israil, dia adalah seorang ulama yang pernah mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah karena telah melakukan proses penyucian diri.

Karena kesalehannya, dia dihormati orang banyak, doa-doanya senantiasa dikabulkan Tuhan, popularitas dirinya termasyhur di seluruh pelosok negeri. Reputasinya cemerlang membuat raja senang kepadanya dan memberikan jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Suatu saat, dia disuruh raja untuk mendoakan kaum Nabi Musa agar jatuh ke dalam kecelakaan dan Bal’am melakukannya.

Para sejarawan menyebutkan bahwa Bal’am jatuh pada kesesatan karena silau akan pengaruh dunia. Setelah memalui proses pembersihan diri yang cukup lama, dunia tunduk dan mengalir kepadanya. Dia menjadi orang terhormat dan memiliki banyak pengikut.

Riwayat ini berkaitan dengan orang-orang yang memulai hidupnya dengan kesalehan, dengan perjuangan untuk agama, namun pada akhir hidupnya mengalami perubahan drastis dengan mengikuti ambisi duniawi. Kisah-kisah seperti ini diungkap dalam Alquran agar menjadi pelajaran bagi kita yang datang kemudian.

Selain kisah Bal’am, masih terdapat kisah-kisah yang lain yang patut menjadi pelajaran tentang mereka yang berhenti menyucikan diri dan jatuh pada su’ul khatimah. Kisah Iblis, ketika menghapuskan seluruh amalnya yang panjang dan kesungguhannya beribadah dengan tekun.

Para ahli sejarah menyebut bahwa Iblis telah menyembah Allah enam ribu tahun lamanya, tetapi dia jatuh karena dosa yang sesaat saja yakni dosa takabur. Kisah ini mengingatkan kita bahwa Iblis yang telah beribadah ribuan tahun lamanya dapat terjerumus ke dalam jurang kesesatan, apalagi manusia yang sedikit amal salehnya.

Kita tidak boleh merasa aman dan tenteram dengan proses penyucian diri, karena itu bukan jaminan meraih surga. Karena takaburnya, Iblis tak mau bersujud kepada Adam. Untuk itu, Allah mengutuk Iblis dan mengeluarkannya dari surga untuk selama-lamanya.

Kisah Iblis mengajari kita akan kehati-hatian dan ketakutan kita akan akhir yang buruk (su’ul khatimah). Kita tidak boleh berhenti sesaat pun dalam proses penyucian diri, karena itu setiap maksiat yang kita lakukan adalah sebuah noktah hitam yang menodai kebersihan hati kita. Semakin banyak kemaksiatan yang kita lakukan, semakin gelaplah permukaan hati dan semakin rendah pula tingkat kita dalam proses penyucian diri. (*)

  • Bagikan