Oleh: Shamsi Ali
(Presiden Nusantara Foundation & Imam di New York, AS)
RAKYATSULSEL - Dunia modern yang terbangun di atas paham materialisme terbukti melahirkan ketidakpuasan abadi. Manusia berlari dan berlari memburu dunia tanpa akhir. Tapi buruan itu semakin menjauh dari mereka. Dunia memang sejatinya tanpa iman, tak lebih dari fatamorgana.
Akibatnya, manusia semakin tertipu oleh dunia yang penuh tipuan (ghurur). Anehnya pula, manusia takkan pernah tersadarkan hingga masanya berpisah darinya.
“Mereka dijadikan tidak sadar oleh kecenderungan memperbanyak (harta) hingga mereka dipaksa berpisah dari dunia (masuk ke dalam kubur).” (al-Humazah).
Situasi ini melahirkan kegersangan dan kegelisahan hidup tanpa akhir. Semakin banyak yang diakumulasi semakin pula terasa perasaan kekurangan itu. Batin merana, menjerit mencari ketenangan. Tapi dunia yang dijadikan sandaran ketenangan justru semakin melahirkan kerisauan dan kekhawatiran (khauf).
Di sìnilah sesungguhnya Islam hadir untuk membawa ketenangan hakiki. Islam pada dirinya dan seluruh tatanannya sebagai jalan hidup terbangun di atas dasar kedamaian, ketenangan, dan ketentraman.
Situasi itu yang digambarkan dalam do’a seorang muslim di setiap akhir shalat: “Allahumma antassalaam, wa minkassalam, wa ilaika ya’udussalaam, fahayyina Rabbana bis-salaam, wa adkhilna daarassalaam.”
Islam sendiri berasal dari kata “salima” yang terdiri atas tiga huruf: siim, laam, miim. Dari tiga itu terlahir tiga kata dengan makna yang relevan dengan Islam. Al-Islamu (الاسلام), as-Silm (السلم), dan As-salaam (السلام). Ketiga kata ini menggambarkan secara totalitàs Islam sebagai tuntunan hidup.