RAKYATSULSEL - Hukum adat adalah aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup seharihari baik di kota maupun di desa. Hukum adat adalah hukum yang hidup karena ia menjalankan perasaan hukum masyarakat secara nyata. Hal ini dimungkinkan karena hukum adat tersebut berurat dan berakar pada kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber pembentukan hukum nasional tetap memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam kerangka pembangunan hukum nasional, hukum adat yang merupakan hukum yang hidup (living law) adalah salah satu unsur yang diakui urgensinya.
Asal Muasal Hukum Adat Bugis
Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orangorang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Menurut sejarah perkembangannya, agama Islam pertama kali diterima dan dijalankan oleh kalangan raja (arung) sehingga dengan keadaan itu memudahkan penyebarannya kepada rakyat, di mana rakyat menerima perintah rajanya secara patuh dan pasrah (polo papa polo panni) untuk menjalankan agama Islam. Agama Islam selain berintikan ajaran ibadah (pakkasiwiyang) juga memuat ajaran-ajaran hukum yang disebut sarak (syariat), sarak inilah kemudian yang melahirkan adat kebiasaan dan selanjutnya berwujud menjadi hukum adat.
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religius) artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atau berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu atau mau melakukan sesuatu biasanya berdoa memohon keridhaan tuhan yang ghaib, dengan harapan karya itu akan berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan tidak melanggar pantangan (pamali) yang dapat berakibat timbulnya kutukan dari yang Maha Kuasa. Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama. ”satu untuk semua dan semua untuk satu” hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, tolong menolong, dan gotong-royong.
Perkawinan Silariang Dalam Pandangan Hukum Adat Makassar
Masyarakat makassar dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat istiadat serta menegakkan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Di kawasan makassar terdapat berbagai macam pelanggaran adat yang hingga kini masih terus terjadi seperti silariang. Sanksi atas pelanggaran adat tersebut juga dijunjung tinggi oleh masyarakat adat tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Silariang sering juga disebut dengan kawin lari.
Khusus untuk daerah Sulawesi Selatan, silariang dianggap sebagai hal yang sangat memalukan bahkan sanksinya bisa sampai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dari pihak perempuan yang merasa sebagai pihak yang dirugikan dan dibuat malu oleh laki laki yang membawa anak perempuannya. Dalam berbagai kasus orang yang melakukan silariang menyadari bahwa hal tersebut salah dan akan mendapat sanksi akan tetapi pilihan silariang ini juga banyak dipilih oleh pasangan yang tidak direstui. Efek dari silariang tidak hanya melekat pada yang melakukan pelanggaran terhadap pelanggaran adat silariang melainkan juga pada keluarga pihak laki-laki dan perempuan seperti adanya rasa malu. Oleh karena itu diberlakukan sanksi adat baik itu dikeluarkan dari anggota keluarga ataupun dibunuh tergantung dari kasus silariang yang terjadi.
Menurut masyarakat adat Makassar hal ini merupakan suatu pelanggaran adat. Kasus silariang di daerah ini terjadi dengan beragam motif dan jenis kasus. Terdapat jenis silariang yang dikehendaki oleh laki- laki yang kemudian membujuk perempuan atau sebaliknya dan ada juga jenis silariang yang dikehendaki oleh kedua belah pihak baik lakilaki maupun perempuan. penting untuk mengetahui penerapan sanksi dari silariang juga penting untuk mengetahui dasar dari penerapan sanksi atas pelanggaran adat tersebut dan bagaimana tata cara penerapan yang dilakukan oleh pemangku adat dan masyarakat adat makassar dalam memberi ganjaran terhadap orang yang melakukan silariang. Silariang berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Dengan peristiwa ini maka timbullah ketegangan dalam masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau dibawa lari. Pihak keluarga gadis menderita siri sehingga to masiri berkewajiban appaenteng siri keluarganya dengan membunuh lelaki yang melarikan gadisnya, kecuali bila lelaki tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota adat atau pemuka masyarakat atau setidak - tidaknya telah sempat membuang penutup kepalanya ke dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut yang berarti ia sudah ada dalam perlindungan, maka ia tak dapat diganggu lagi, begitu pula kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya.
Sebab umum dari pada peristiwa silariang ialah karena yang bersangkutan tidak dapat melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat. Dan adapun jalan keluarnya ialah berusaha melakukan perkawinan di luar tata cara perkawinan adat dengan jalan silariang. Oleh kerena itu silariang dalam masyarakat suku Makassar merupakan perkawinan yang tidak sewajarnya karena tidak sesuai norma adat yang berlaku dalam masyarakat, menimbulkan siri’ bagi keluarga pelaku silariang utamanya bagi keluarga perempuan. Terlepas dari historis silariang atau (kawin lari) dimana silariang akan selalu bersinggungan dengan budaya dan adat istiadat setiap suku. Nilai-nilai budaya pada suku manapun di negara ini akan selalu menukik kedalam identitas pernikahan kapan dan dimanapun dilangsungkan. Pada suku makassar tradisi uang panai telah menjadi bagian integral untuk melangsungkan pernikahan kedua insan yang saling mencintai, namun akibat uang panai terkadang berunjung pada jalan pintas yakni silariang.
Referensi
Ubbe, A. (2005). Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Perkembangan Hukum Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional.