Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Menjelang perhelatan pesta demokrasi semisal pilpres dan pileg, ramai dan sering keluar dari mulut politikus dan para aktivis kata moral dan etika. Bukan tanpa sebab, ada proses yang menyebabkan kata tersebut begitu riuh di ruang publik dan mudah diucapkan.
Sudah menjadi rahasia umum bila penyebabnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan seorang dapat menjadi calon wakil presiden, sekalipun usianya belum memenuhi, namun pernah menjadi kepala daerah maka yang bersangkutan bersyarat menjadi calon wakil presiden. Putusan MK dianggap melanggar moral atau etika, sebab yang menjadi ketua MK adalah paman Gibran yang juga adalah ipar dari Jokowi.
Ternyata bukan hanya putusan MK yang mencederai perasaan masyarakat, namun baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) juga mengikuti jejak MK untuk membuat persyaratan menjadi calon wakil gubernur menjadi berubah. Menurut kabar burung putusan MA tersebut untuk memuluskan Kaesang ikut bertarung sebagai 02 di Pilgub DKI 2024.
Namun, menarik pernyataan ketua KPU soal putusan MA yang membatalkan peraturan komisi pemilihan umum (PKPU). Ketua KPU menyatakan ranah KPU sebatas pada penetapan calon kepala daerah, sedangkan pelantikan adalah ranah pemerintah. Lagipula PKPU tingkatannya di bawah UU Pilkada, yang berarti KPU tidak boleh menyimpang dari UU Pilkada.
Menurut Penulis hal-hal atau pelanggaran yang dilakukan oleh calon sebelum adanya rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh KPU, sebaiknya disoal sejak awal oleh pasangan calon yang merasa dirugikan. Utamanya pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Sebab apabila soal yang terkait pelanggaran pada masa pencalonan dan kampanye yang disoal pada masa sengketa hasil maka akan mudah ditolak oleh MK.
Masyarakat selaku pihak yang punya hak pilih tentu saja sudah punya rasionalitas tersendiri dalam menentukan pilihannya. Makanya kejelian dan strategi dari tim sukses sangat signifikan dalam mendongrak elektabilitas cakada. Tetiba ada figur yang memasang gambar sebagai cakada di jalan-jalan dan tempat umum lainnya, yang sebelumnya tidak terdengar jika ingin maju sebagai kontestan pilkada.
Hal itu akibat percaya diri mampu menaikkan popularitas seiring dengan elektabilitas. Dengan sarana media sosial yang berjibun, bukan hal yang sulit untuk memperkenalkan diri pada masyarakat. Apalagi bagi kota yang cakupan wilayah dan penduduknya tidak padat.
Dua bulan menjelang pendaftaran calon, manuver banyak dilakukan tim sukses dan kandidat. Tentu saja upaya tersebut adalah bentuk atau strategi untuk mengukur sampai sejauh mana kesolidan pendukung dan simpatisan calon. Selain itu parpol juga masih dalam taraf menjajaki calon yang akan diusungnya.
Selain elektabilitas sebagai dasar untuk meminang calon, juga amunisi sebagai bekal dalam menaikkan elektabilitas dalam masa kampanye. Maka tidak jarang dalam injury time waktu pendaftaran, banyak kejutan dilakukan parpol. Pasangan calon yang tidak pernah diduga maju, tetiba diberi rekomendasi oleh parpol atau gabungan parpol.
Bakal calon yang siap “bertarung” akan menjalankan dua hal utama, pertama: kampanye di media sosial dan pemasangan alat peraga sebagai sinyal akan maju sebagai calon kepala daerah. Yang kedua menjalankan penggalangan massa dalam berbagai kegiatan terhadap segmen masyarakat yang notabene adalah pemegang hak pilih, dan tetap merawatnya hingga masa pencoblosan.
Kerja yang kedua tersebut tentu saja akan menyita sumber daya dan dana, namun hasilnya akan signifikan untuk menghasilkan pemenang pada hari H. (*)